Menjadi seorang mahasiswa sering kita kaitkan dengan biaya kuliah yang mahal baik saat awal masuk maupun SPP setiap semesternya. Namun, masalah ini sering terselesaikan dengan keberadaan beasiswa yang ditawarkan baik dari pemerintah maupun swasta, baik karena prestasi maupun ketidakmampuan orang tua dalam hal finansial. Sering terselesaikan bukan berarti tidak menimbulkan masalah baru. Seperti kita tahu bahwa masalah "beasiswa salah sasaran" masih sering kita dengar di sekitar kita.
Salah sasaran yang dimaksud di sini bisa ditinjau dari sisi persepsi. Contohnya, penerima beasiswa untuk kategori tidak mampu ternyata malah didapatkan oleh mereka yang gaya hidupnya tidak bisa dibilang seperti orang tidak mampu. Bukankah tidak jarang kita menemukan para penerima beasiswa semacam itu di sekitar kita? Akhirnya, kecemburuan, kecurigaan, dan gunjingan seperti mengalir begitu saja dengan mudahnya.
Permasalahan menyangkut penerima beasiswa untuk kategori tidak mampu memang terdengar sensitif untuk diperbincangkan, baik di kalangan dosen maupun teman-teman mahasiswa. Lain halnya jika beasiswa tersebut diberikan kepada mahasiswa yang memiliki prestasi. Penilaian dan omongan yang muncul mayoritas akan lebih positif didengar dan diperbincangkan.
Entah siapa yang salah dan siapa yang benar. Seleksi penerima beasiswa hanya berdasar pada surat gaji orang tua dan surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan/ Desa. Keduanya bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan. Mereka yang benar-benar miskin atau pura-pura miskin bisa saja mendapatkan surat tersebut dengan birokrasi yang tidak terlalu rumit. Selanjutnya panitia penyeleksi beasiswa juga tidak mungkin menyeleksi mahasiswa sampai ke hal-hal detail seperti dari segi gaya hidup layaknya penampilan, gadget yang dibawa, dan pergaulan mereka. Jadi, fenomena ini muncul bukan karena tanpa alasan, tapi alasanya yang ada memang sudah saling berkaitan.
Bukan maksud saya menjadi skeptis, tapi memang saya heran dengan gaya hidup masyarakat Indonesia. Bukan taraf hidupnya yang naik, tapi malah gengsinya. Seandainya mereka paham dalam menempatkan diri, mungkin fenomena seperti ini tidak akan terjadi.
Maksudnya begini, kalau memang mereka sudah mendapatkan beasiswa, sebaiknya mereka bisa lebih menahan diri untuk mengatur gaya hidupnya. Budaya "pekewuh" masih bisa digunakan dalam hal ini. Setidaknya, semua itu dilakukan untuk menghindari kecemburuan sosial bagi mereka yang mungkin sebenarnya 'lebih berhak' mendapatkan, dan omongan tidak enak dari berbagai pihak.
Kecuali kalau memang mereka masih mampu untuk tidak peduli dengan dua hal tadi ya... silakan :)
Toh kalau memang sebenarnya mampu, kenapa harus berpura-pura tidak mampu?
Salah sasaran yang dimaksud di sini bisa ditinjau dari sisi persepsi. Contohnya, penerima beasiswa untuk kategori tidak mampu ternyata malah didapatkan oleh mereka yang gaya hidupnya tidak bisa dibilang seperti orang tidak mampu. Bukankah tidak jarang kita menemukan para penerima beasiswa semacam itu di sekitar kita? Akhirnya, kecemburuan, kecurigaan, dan gunjingan seperti mengalir begitu saja dengan mudahnya.
Permasalahan menyangkut penerima beasiswa untuk kategori tidak mampu memang terdengar sensitif untuk diperbincangkan, baik di kalangan dosen maupun teman-teman mahasiswa. Lain halnya jika beasiswa tersebut diberikan kepada mahasiswa yang memiliki prestasi. Penilaian dan omongan yang muncul mayoritas akan lebih positif didengar dan diperbincangkan.
Entah siapa yang salah dan siapa yang benar. Seleksi penerima beasiswa hanya berdasar pada surat gaji orang tua dan surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan/ Desa. Keduanya bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan. Mereka yang benar-benar miskin atau pura-pura miskin bisa saja mendapatkan surat tersebut dengan birokrasi yang tidak terlalu rumit. Selanjutnya panitia penyeleksi beasiswa juga tidak mungkin menyeleksi mahasiswa sampai ke hal-hal detail seperti dari segi gaya hidup layaknya penampilan, gadget yang dibawa, dan pergaulan mereka. Jadi, fenomena ini muncul bukan karena tanpa alasan, tapi alasanya yang ada memang sudah saling berkaitan.
Bukan maksud saya menjadi skeptis, tapi memang saya heran dengan gaya hidup masyarakat Indonesia. Bukan taraf hidupnya yang naik, tapi malah gengsinya. Seandainya mereka paham dalam menempatkan diri, mungkin fenomena seperti ini tidak akan terjadi.
Maksudnya begini, kalau memang mereka sudah mendapatkan beasiswa, sebaiknya mereka bisa lebih menahan diri untuk mengatur gaya hidupnya. Budaya "pekewuh" masih bisa digunakan dalam hal ini. Setidaknya, semua itu dilakukan untuk menghindari kecemburuan sosial bagi mereka yang mungkin sebenarnya 'lebih berhak' mendapatkan, dan omongan tidak enak dari berbagai pihak.
Kecuali kalau memang mereka masih mampu untuk tidak peduli dengan dua hal tadi ya... silakan :)
Toh kalau memang sebenarnya mampu, kenapa harus berpura-pura tidak mampu?
Komentar
Posting Komentar