"Habis ini kamu re-or kan dari HMJ? Kalo bisa kamu lengser ya..."
kata si Didin pada Astrid sore itu saat selesai rapat. Astrid jelas
kaget dengan saran Didin. Bagaimana bisa Astrid mengundurkan diri dari
HMJ, organisasi kesayangannya, demi lembaga legislatif kampus yang belum
memberinya apa-apa selain kesibukan baru.
"Yah? Kok gitu sih, Din? Lagian kalo aku lengser aku nggak bisa menjabat di sini dong. Aku kan bisa duduk di sini karena jadi perwakilan HMJ-ku," jawab Astrid.
"Oh iya juga ya... Ya pokoknya kamu jangan megang jabatan penting di sana kalo bisa. Atau perlu aku buatin surat rekomendasi untuk HMJ mu? Hehehe," usul Didin sedikit bercanda.
"Nggak... nggak usah, Din. Insya Allah aku masih bisa pegang amanah kok."
"Ya sudah, alhamdulillah. Pokoknya aku butuh kamu, Trid di sini," kata Didin menutup pertemuannya sore itu. Astrid tampak bimbang. Ia seperti terharu ketika Didin, ketua lembaga legislatif kampus itu begitu memprioritaskan keberadaannya. Astrid merasa seperti sangat dieman-eman di sana. Sesuatu yang sebenarnya sangat ia harapkan dari organisasi kesayangannya.
Astrid pulang ke kost dengan pikiran yang bermacam-macam. Apa Didin benar-benar serius dengan niatnya untuk mengirim surat rekomendasi agar aku tidak lagi ambil peran penting di HMJ, organisasi yang sudah membesarkan namanya selama dua tahun terakhir ini. Astrid tidak bisa meninggalkannya begitu saja karena ia masih terpanggil untuk membenahi banyak kesalahan di dalam organisasi kesayangannya tersebut. Bahkan jika hatinya bisa dipresentasikan, HMJ-nya lebih mengambil 78% dari keseluruhan.
Kegundahan hati Astrid ini coba ia ceritakan pada senior aktivisnya, yang sering ia ajak tukar pikiran dan perasaan, Rosiana. Astrid sering memanggilnya dengan Rosi, Teh Rosi. Siapa yang mengira ternyata Rosi juga terkejut dengan "guyonan" yang dilontarkan Didin pada Astrid beberapa hari yang lalu. Namun, Rosi pun kecewa ketika Astrid belum bisa seimbang dalam membagi hatinya untuk bekerja di dua organisasi yang ia ikuti saat ini. Bagaimana pun juga Astrid harus profesional dalam membagi prioritas, agar tidak terjadi ketimpangan.
"Di luar sana banyak yang lebih sibuk dari kita, tapi hatinya tetep kebagi sama rata. Di situ letak profesional yang seharusnya. Aku sendiri juga belum bisa sih, makanya ayo belajar bareng..." kata Rosi.
"Iya sih, teh... Ya, tapi... siapa sih yang nggak seneng kalo merasa dibutuhkan dan diprioritaskan? Gimana juga sih teh rasanya kalo sesuatu yang lebih kamu sayang malah nggak memprioritaskan kamu sebesar yang kamu harapkan? Eh... malah yang nggak disayang-sayang banget bisa mrioritasin kamu sebesar itu."
"Oalah, cuma perkara prioritas to..."
"Kok cuma sih teh?" tanya Astrid sedikit kesal.
"Ya, kamu itu kadang lebay sih. Sekarang gini, siapa bilang HMJ nggak mrioritasin kamu? Mereka juga mrioritasin kamu keleus, tapi ya caranya nggak se-frontal Didin ke kamu. Nyatanya kalo kamu off, mereka juga bingung nyariin kamu. Mereka juga belum kepengen kamu mengundurkan diri tahun ini. Para senior juga merekomendasikan kamu supaya tetap bertahan, kan? Sekarang bagian mana yang nunjukin kalo HMJ nggak sayang sama kamu?" jelas Rosi pada Astrid.
Astrid seperti tertampar. Ia terlalu haus akan pengungkapan. Ia seperti anak kecil yang apa-apa harus dijelaskan secara terang-terangan. Padahal sebenarnya kedua organisasi tersebut sama-sama membutuhkannya, tapi ia seperti tidak bisa menangkap maksud mereka.
"Kontribusi dan loyalitasmu yang udah bikin kamu berjalan sejauh ini. Pemimpin nggak butuh pujian sayang, pemimpin juga nggak takut sama cacian. Jangan pernah kecewain mereka yang udah menaruh amanah di pundakmu. Jangan pernah kecewain mereka yang udah mrioritasin kamu, baik yang secara terang-terangan kayak Didin, atau yang tersirat kayak temen-temenmu di HMJ."
Nasehat Rosi sore itu menutup obrolan hangat bersama es teler dingin di sebuah kedai di belakang kampus. Astrid kini sadar bahwa amanah tidak pernah salah memilih pundak. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan mereka yang sudah dan selalu memprioritaskannya. Tidak akan.
"Yah? Kok gitu sih, Din? Lagian kalo aku lengser aku nggak bisa menjabat di sini dong. Aku kan bisa duduk di sini karena jadi perwakilan HMJ-ku," jawab Astrid.
"Oh iya juga ya... Ya pokoknya kamu jangan megang jabatan penting di sana kalo bisa. Atau perlu aku buatin surat rekomendasi untuk HMJ mu? Hehehe," usul Didin sedikit bercanda.
"Nggak... nggak usah, Din. Insya Allah aku masih bisa pegang amanah kok."
"Ya sudah, alhamdulillah. Pokoknya aku butuh kamu, Trid di sini," kata Didin menutup pertemuannya sore itu. Astrid tampak bimbang. Ia seperti terharu ketika Didin, ketua lembaga legislatif kampus itu begitu memprioritaskan keberadaannya. Astrid merasa seperti sangat dieman-eman di sana. Sesuatu yang sebenarnya sangat ia harapkan dari organisasi kesayangannya.
Astrid pulang ke kost dengan pikiran yang bermacam-macam. Apa Didin benar-benar serius dengan niatnya untuk mengirim surat rekomendasi agar aku tidak lagi ambil peran penting di HMJ, organisasi yang sudah membesarkan namanya selama dua tahun terakhir ini. Astrid tidak bisa meninggalkannya begitu saja karena ia masih terpanggil untuk membenahi banyak kesalahan di dalam organisasi kesayangannya tersebut. Bahkan jika hatinya bisa dipresentasikan, HMJ-nya lebih mengambil 78% dari keseluruhan.
Kegundahan hati Astrid ini coba ia ceritakan pada senior aktivisnya, yang sering ia ajak tukar pikiran dan perasaan, Rosiana. Astrid sering memanggilnya dengan Rosi, Teh Rosi. Siapa yang mengira ternyata Rosi juga terkejut dengan "guyonan" yang dilontarkan Didin pada Astrid beberapa hari yang lalu. Namun, Rosi pun kecewa ketika Astrid belum bisa seimbang dalam membagi hatinya untuk bekerja di dua organisasi yang ia ikuti saat ini. Bagaimana pun juga Astrid harus profesional dalam membagi prioritas, agar tidak terjadi ketimpangan.
"Di luar sana banyak yang lebih sibuk dari kita, tapi hatinya tetep kebagi sama rata. Di situ letak profesional yang seharusnya. Aku sendiri juga belum bisa sih, makanya ayo belajar bareng..." kata Rosi.
"Iya sih, teh... Ya, tapi... siapa sih yang nggak seneng kalo merasa dibutuhkan dan diprioritaskan? Gimana juga sih teh rasanya kalo sesuatu yang lebih kamu sayang malah nggak memprioritaskan kamu sebesar yang kamu harapkan? Eh... malah yang nggak disayang-sayang banget bisa mrioritasin kamu sebesar itu."
"Oalah, cuma perkara prioritas to..."
"Kok cuma sih teh?" tanya Astrid sedikit kesal.
"Ya, kamu itu kadang lebay sih. Sekarang gini, siapa bilang HMJ nggak mrioritasin kamu? Mereka juga mrioritasin kamu keleus, tapi ya caranya nggak se-frontal Didin ke kamu. Nyatanya kalo kamu off, mereka juga bingung nyariin kamu. Mereka juga belum kepengen kamu mengundurkan diri tahun ini. Para senior juga merekomendasikan kamu supaya tetap bertahan, kan? Sekarang bagian mana yang nunjukin kalo HMJ nggak sayang sama kamu?" jelas Rosi pada Astrid.
Astrid seperti tertampar. Ia terlalu haus akan pengungkapan. Ia seperti anak kecil yang apa-apa harus dijelaskan secara terang-terangan. Padahal sebenarnya kedua organisasi tersebut sama-sama membutuhkannya, tapi ia seperti tidak bisa menangkap maksud mereka.
"Kontribusi dan loyalitasmu yang udah bikin kamu berjalan sejauh ini. Pemimpin nggak butuh pujian sayang, pemimpin juga nggak takut sama cacian. Jangan pernah kecewain mereka yang udah menaruh amanah di pundakmu. Jangan pernah kecewain mereka yang udah mrioritasin kamu, baik yang secara terang-terangan kayak Didin, atau yang tersirat kayak temen-temenmu di HMJ."
Nasehat Rosi sore itu menutup obrolan hangat bersama es teler dingin di sebuah kedai di belakang kampus. Astrid kini sadar bahwa amanah tidak pernah salah memilih pundak. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan mereka yang sudah dan selalu memprioritaskannya. Tidak akan.
Komentar
Posting Komentar