Dasar manusia study-oriented!
Astrid malam itu hampir gila gara-gara tugas review jurnal untuk mata kuliah metodologi penelitian khusus konsentrasi kuliahnya di bidang linguistik belum juga menemui titik terang. Ia baru mulai gila sejak teman-temannya sudah melewati masa gila dan mendapatkan pencerahan. Ia merasa depresi secara implisit ketika ia belum juga menemukan topik yang pas untuk bahan skripsinya, sementara teman-temannya terlihat seperti sudah mantap menentukan pilihan.
Malam demi malam, jurnal demi jurnal, pendekatan demi pendekatan, teori demi teori ia baca bolak balik sampai muak. Pipinya mulai menggembung dan berjerawat, matanya mulai menghitam dan berkantung, tak secantik biasanya. Ia tidak bisa menentukan topik penelitian begitu saja tanpa kekuatan pemahaman teori yang kuat. Ia tidak ingin bab 2-nya nanti harus mengalami banyak revisi jika dasar pemahamannya masih cetek. Tiba-tiba Astrid jadi berpikir, apa ini yang membuat kakak-kakak seniornya yang terbilang pintar harus begitu lama menyelesaikan skripsinya? Oh Tuhan... jangan sampai.
Pagi tadi ia baru saja lancar mempresentasikan tugas analisis dialog yang terjadi di pengadilan dari beberapa pendekatan linguistik, yang lebih dikenal dengan analisis wacana kritis. Tapi ia tidak serta merta mudah goyah untuk mengubah haluan awalnya yang ingin meneliti untuk menangkap makna, dari pendekatan pragmatik (disiplin ilmu kebahasaan yang mempelajari makna sesuai konteks). Ditemani oleh Ifa dan Karin yang juga sudah mendapatkan pencerahan, Astrid sebenarnya semangat. Tapi setelah membaca banyak jurnal, bukan pencerahan yang ia dapat, tetapi malah galau akademik yang kelewat hebat.
"Besok diskusi yuk." kata Astrid pada kedua temannya siang itu.
"Boleh, kapan? Dimana?" tanya Karin.
"Cari tempat yang beda aja yuk. Aku punya beberapa bahasan soal code-switching." usul Ifa.
"Besok Rabu aja ya, tempatnya nyusul lah." kata Karin. "Oh ya, aku udah dapet beberapa referensi soal interpersonal meaning lho dari perpus fakultas. Sial bener skripsinya nggak boleh dibawa pulang."
"Hahaha jatah nyecan dong ya? Sabar ya, bu..."
Astrid hanya diam tidak banyak menyahut. Referensi apa yang harus ia bawa. Materi apa yang ingin ia diskusikan dengan teman-temannya.
"Kamu kok diem aja sih, sehat kan?" tanya Ifa kepada Astrid.
"Iya, sehat kok. Nanti kabarin aja ya kalo jadi." jawab Astrid lemas dan pergi begitu saja mengambil motornya lalu pulang. Entah apa yang sedang dipikirkan Ifa dan Karin padanya, Astrid tidak peduli. Ia ingin sekali membuang badannya ke kasur dan melepas lelah atas pikirannya barang satu jam saja.
Setelah solat Dhuhur, Astrid memutuskan untuk tidur siang sebentar. Ia mencoba memejamkan matanya. Ia terpejam tapi ia tahu ia tidur tak nyenyak. Saat ia terjaga, kepalanya pusing dengan "aku harus menulis apa? topik apa yang akan aku bahas? aku ada agenda apa?"
argh!!!
Astrid pun akhirnya bangun dan kembali mencoba membuka laptopnya. Ia buka-buka kembali jurnal pilihannya dan mencoba menelaah apa maksudnya, mencoba mencari celah, siapa tahu ia bisa mendapat inspirasi. Satu jam, dua jam, dua setengah jam, ia menyerah.
"Sudahlah, ini saja."
Astrid pun mencoba menginterpretasikan makna dari jurnal terakhir yang ia baca. Sesekali ia mencoba berlatih untuk mempresentasikannya, layaknya di depan kelas seperti teman-temannya. Secara tidak sadar, dengan lancar ia selesai mempresentasikannya.
"Aku ini kenapa ya? Sebenernya aku bisa, tapi kenapa aku membuat tegangan pada kepalaku sendiri."
Keesokan harinya, dengan berbaju merah cerah, Astrid berangkat dengan kesiapan presentasi. Tidak ada yang menyangka, Tuhan memberi pertolongan padanya. Ia mampu mempresentasikan hasil review jurnalnya dengan lancar. Pertanyaan dari teman-temannya pun bisa ia jawab dari beberapa teori yang sudah pelajari dan catat sebelumnya. Masukan dari dosen pun semakin memantapkan pilihannya untuk memilih pendekatan sosiolinguistik sebagai topik proposalnya. Tidak ada yang menyangka ia mendapatkan tepuk tangan sebagai apresiasi di akhir presentasinya. Astrid pun hanya bisa bersyukur dan tersenyum lega.
*tarik nafas* *buang nafas* *istighfar* *hamdalah*
"Ya Allah, Engkau yang Maha Tahu kapasitas dan kemampuanku. Aku mohon pertolongan dan bimbingan-Mu dalam setiap langkah proses akademikku. Jangan buat aku mudah tertekan dan menyerah karena keadaan ya Rabb... Amin" begitulah doa Astrid selepas Solat Dhuhur siang itu.
Astrid malam itu hampir gila gara-gara tugas review jurnal untuk mata kuliah metodologi penelitian khusus konsentrasi kuliahnya di bidang linguistik belum juga menemui titik terang. Ia baru mulai gila sejak teman-temannya sudah melewati masa gila dan mendapatkan pencerahan. Ia merasa depresi secara implisit ketika ia belum juga menemukan topik yang pas untuk bahan skripsinya, sementara teman-temannya terlihat seperti sudah mantap menentukan pilihan.
Malam demi malam, jurnal demi jurnal, pendekatan demi pendekatan, teori demi teori ia baca bolak balik sampai muak. Pipinya mulai menggembung dan berjerawat, matanya mulai menghitam dan berkantung, tak secantik biasanya. Ia tidak bisa menentukan topik penelitian begitu saja tanpa kekuatan pemahaman teori yang kuat. Ia tidak ingin bab 2-nya nanti harus mengalami banyak revisi jika dasar pemahamannya masih cetek. Tiba-tiba Astrid jadi berpikir, apa ini yang membuat kakak-kakak seniornya yang terbilang pintar harus begitu lama menyelesaikan skripsinya? Oh Tuhan... jangan sampai.
Pagi tadi ia baru saja lancar mempresentasikan tugas analisis dialog yang terjadi di pengadilan dari beberapa pendekatan linguistik, yang lebih dikenal dengan analisis wacana kritis. Tapi ia tidak serta merta mudah goyah untuk mengubah haluan awalnya yang ingin meneliti untuk menangkap makna, dari pendekatan pragmatik (disiplin ilmu kebahasaan yang mempelajari makna sesuai konteks). Ditemani oleh Ifa dan Karin yang juga sudah mendapatkan pencerahan, Astrid sebenarnya semangat. Tapi setelah membaca banyak jurnal, bukan pencerahan yang ia dapat, tetapi malah galau akademik yang kelewat hebat.
"Besok diskusi yuk." kata Astrid pada kedua temannya siang itu.
"Boleh, kapan? Dimana?" tanya Karin.
"Cari tempat yang beda aja yuk. Aku punya beberapa bahasan soal code-switching." usul Ifa.
"Besok Rabu aja ya, tempatnya nyusul lah." kata Karin. "Oh ya, aku udah dapet beberapa referensi soal interpersonal meaning lho dari perpus fakultas. Sial bener skripsinya nggak boleh dibawa pulang."
"Hahaha jatah nyecan dong ya? Sabar ya, bu..."
Astrid hanya diam tidak banyak menyahut. Referensi apa yang harus ia bawa. Materi apa yang ingin ia diskusikan dengan teman-temannya.
"Kamu kok diem aja sih, sehat kan?" tanya Ifa kepada Astrid.
"Iya, sehat kok. Nanti kabarin aja ya kalo jadi." jawab Astrid lemas dan pergi begitu saja mengambil motornya lalu pulang. Entah apa yang sedang dipikirkan Ifa dan Karin padanya, Astrid tidak peduli. Ia ingin sekali membuang badannya ke kasur dan melepas lelah atas pikirannya barang satu jam saja.
Setelah solat Dhuhur, Astrid memutuskan untuk tidur siang sebentar. Ia mencoba memejamkan matanya. Ia terpejam tapi ia tahu ia tidur tak nyenyak. Saat ia terjaga, kepalanya pusing dengan "aku harus menulis apa? topik apa yang akan aku bahas? aku ada agenda apa?"
argh!!!
Astrid pun akhirnya bangun dan kembali mencoba membuka laptopnya. Ia buka-buka kembali jurnal pilihannya dan mencoba menelaah apa maksudnya, mencoba mencari celah, siapa tahu ia bisa mendapat inspirasi. Satu jam, dua jam, dua setengah jam, ia menyerah.
"Sudahlah, ini saja."
Astrid pun mencoba menginterpretasikan makna dari jurnal terakhir yang ia baca. Sesekali ia mencoba berlatih untuk mempresentasikannya, layaknya di depan kelas seperti teman-temannya. Secara tidak sadar, dengan lancar ia selesai mempresentasikannya.
"Aku ini kenapa ya? Sebenernya aku bisa, tapi kenapa aku membuat tegangan pada kepalaku sendiri."
Keesokan harinya, dengan berbaju merah cerah, Astrid berangkat dengan kesiapan presentasi. Tidak ada yang menyangka, Tuhan memberi pertolongan padanya. Ia mampu mempresentasikan hasil review jurnalnya dengan lancar. Pertanyaan dari teman-temannya pun bisa ia jawab dari beberapa teori yang sudah pelajari dan catat sebelumnya. Masukan dari dosen pun semakin memantapkan pilihannya untuk memilih pendekatan sosiolinguistik sebagai topik proposalnya. Tidak ada yang menyangka ia mendapatkan tepuk tangan sebagai apresiasi di akhir presentasinya. Astrid pun hanya bisa bersyukur dan tersenyum lega.
*tarik nafas* *buang nafas* *istighfar* *hamdalah*
"Ya Allah, Engkau yang Maha Tahu kapasitas dan kemampuanku. Aku mohon pertolongan dan bimbingan-Mu dalam setiap langkah proses akademikku. Jangan buat aku mudah tertekan dan menyerah karena keadaan ya Rabb... Amin" begitulah doa Astrid selepas Solat Dhuhur siang itu.
Komentar
Posting Komentar