HP Astrid sore itu tiba-tiba berbunyi tanda ada SMS masuk. Ia melihat, ternyata dari Susi, temannya dari jurusan Ilmu Sejarah yang menjadi lawannya dalam kompetisi mahasiswa teladan di Fakultas.
"Astrid, selamat ya..." begitulah kira-kira pesan singkat dari Susi kepada Astrid sore itu. Ia menjadi bingung sendiri mengapa Susi bisa tiba-tiba mengirimi pesan singkat seperti itu padanya.
"Ha? Ada apa to, Sus?" balas Astrid polos.
"Kamu lolos mahasiswa teladan Fakultas, Astrid... Selamat ya :)"
"Heh?! Bercanda kamu."
"Enggak... Coba kamu liat status Facebook-nya Bu Sri"
Seketika itu juga Astrid langsung membuka laptopnya untuk mengecek kebenaran SMS dari Susi. Siapa yang menyangka, ternyata apa yang dikatakan Susi benar adanya. Astrid seperti tidak percaya pada apa yang ia lihat saat itu. Ia jelas senang dengan hal tersebut. Almarhumah Bundanya juga pasti bangga atas hal ini. Tapi...
Tiba-tiba SMS dari Susi memecahkan lamunan Astrid saat itu, "Sekali lagi semangat, Astrid... Semoga sukses ya untuk maju ke Universitasnya. Semoga kamu bisa mengharumkan nama Fakultas kita di sana. Aamiin."
"Aamiin ya Allah. Kamu juga tetep semangat ya, Sus. Makasi banget doanya..."
Satu per satu ucapan selamat mulai berdatangan. Astrid bingung harus bersikap seperti apa. Lagi-lagi ia tidak bisa tidur karena hal ini. Baru saja ia merasakan kelegaan pasca galau akademiknya minggu lalu. Kini ada amanah baru yang menghampiri dirinya.
"Ya Allah, aku tahu Kau sedang mengujiku lewat keindahan dan pujian ini. Ampuni aku ya Rabb... Aku mohon... ampuni aku," Astrid menangis di sajadah pemberian Bundanya malam itu. Ia memohon ampun pada Yang Maha Pengampun. Ia merasa tak pantas mendapatkan amanah ini. Ia merasa bukan siapa-siapa, ia tidak punya kelebihan apa-apa untuk mengemban amanah sebagai Mahasiswa Teladan dan maju mewakili Fakultasnya di tingkat yang lebih tinggi.
"Bukan maksud hamba yang kufur akan nikmatmu, Ya Rabb... Insya Allah aku ridho dan bahagia atas ketetapan-Mu ini. Tapi aku mohon kuatkan aku. Aku lemah ya Rabb... Aku bukan apa-apa tanpa-Mu. Hanya sajadah ini yang bisa ku jadikan tempat bersujud dan menangis di hadapan-Mu. Sampaikan salam rinduku pada Bunda ya Rabb... Semoga ia bangga memiliki anak seperti aku."
Ia pun memutuskan untuk kembali tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi bertemu Bundanya. Ia kembali menangis dan mengadu atas kegelisahan hatinya pada sang Bunda.
"Adek kalau ngelakuin apa-apa jangan dibiasain setengah-setengah. Bunda selalu berdoa buat adek dari sini. Berangkatlah... Allah selalui meridhoi setiap langkah hidupmu, Nak..."
Astrid pun terbangun. Ia seperti menyesal mengapa harus terbangun di mimpi indahnya itu. Saat ia tersadar bahwa sudah masuk waktu Subuh, ia pun bergegas mengambil wudhu dan kembali berderai air mata dalam sujud dan doa yang ia tujukan pada ibunya.
"Astrid, selamat ya..." begitulah kira-kira pesan singkat dari Susi kepada Astrid sore itu. Ia menjadi bingung sendiri mengapa Susi bisa tiba-tiba mengirimi pesan singkat seperti itu padanya.
"Ha? Ada apa to, Sus?" balas Astrid polos.
"Kamu lolos mahasiswa teladan Fakultas, Astrid... Selamat ya :)"
"Heh?! Bercanda kamu."
"Enggak... Coba kamu liat status Facebook-nya Bu Sri"
Seketika itu juga Astrid langsung membuka laptopnya untuk mengecek kebenaran SMS dari Susi. Siapa yang menyangka, ternyata apa yang dikatakan Susi benar adanya. Astrid seperti tidak percaya pada apa yang ia lihat saat itu. Ia jelas senang dengan hal tersebut. Almarhumah Bundanya juga pasti bangga atas hal ini. Tapi...
Tiba-tiba SMS dari Susi memecahkan lamunan Astrid saat itu, "Sekali lagi semangat, Astrid... Semoga sukses ya untuk maju ke Universitasnya. Semoga kamu bisa mengharumkan nama Fakultas kita di sana. Aamiin."
"Aamiin ya Allah. Kamu juga tetep semangat ya, Sus. Makasi banget doanya..."
Satu per satu ucapan selamat mulai berdatangan. Astrid bingung harus bersikap seperti apa. Lagi-lagi ia tidak bisa tidur karena hal ini. Baru saja ia merasakan kelegaan pasca galau akademiknya minggu lalu. Kini ada amanah baru yang menghampiri dirinya.
"Ya Allah, aku tahu Kau sedang mengujiku lewat keindahan dan pujian ini. Ampuni aku ya Rabb... Aku mohon... ampuni aku," Astrid menangis di sajadah pemberian Bundanya malam itu. Ia memohon ampun pada Yang Maha Pengampun. Ia merasa tak pantas mendapatkan amanah ini. Ia merasa bukan siapa-siapa, ia tidak punya kelebihan apa-apa untuk mengemban amanah sebagai Mahasiswa Teladan dan maju mewakili Fakultasnya di tingkat yang lebih tinggi.
"Bukan maksud hamba yang kufur akan nikmatmu, Ya Rabb... Insya Allah aku ridho dan bahagia atas ketetapan-Mu ini. Tapi aku mohon kuatkan aku. Aku lemah ya Rabb... Aku bukan apa-apa tanpa-Mu. Hanya sajadah ini yang bisa ku jadikan tempat bersujud dan menangis di hadapan-Mu. Sampaikan salam rinduku pada Bunda ya Rabb... Semoga ia bangga memiliki anak seperti aku."
Ia pun memutuskan untuk kembali tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi bertemu Bundanya. Ia kembali menangis dan mengadu atas kegelisahan hatinya pada sang Bunda.
"Adek kalau ngelakuin apa-apa jangan dibiasain setengah-setengah. Bunda selalu berdoa buat adek dari sini. Berangkatlah... Allah selalui meridhoi setiap langkah hidupmu, Nak..."
Astrid pun terbangun. Ia seperti menyesal mengapa harus terbangun di mimpi indahnya itu. Saat ia tersadar bahwa sudah masuk waktu Subuh, ia pun bergegas mengambil wudhu dan kembali berderai air mata dalam sujud dan doa yang ia tujukan pada ibunya.
Komentar
Posting Komentar