Beberapa hari yang lalu, saya merasa tersentil dengan komik singkat karya mas Dody YW yang diunggah melalui fanspage FB-nya "Goresan Dody". Jujur, saya merasa tersentil sekaligus baper. Memang apa sih isi komiknya? Nih, berikut media komiknya saya lampirkan:
Sebagai individu yang sejak lahir di Semarang sampai lulus SMA, saya memang lebih familiar dengan konsep pernikahan yang menyuguhkan hidangan secara prasmanan. Para tamu disetting untuk antre makanan dan setelah dapat harus berdiri sambil berdesak-desakan untuk makan. Apakah tidak ada kursi? Biasanya ada, tapi jumlahnya hanya 1/10 dari jumlah undangan yang hadir.
Berbeda dengan konsep pernikahan yang ada di Solo Raya (Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen), pernikahan dengan cara piring terbang masih mudah untuk ditemui. Meskipun beberapa ada yang sudah beralih dengan menggunakan konsep prasmanan, tetapi piring terbang masih jadi andalan.
Pola menunya juga biasanya disebut dengan USDEK: Unjukan (minuman pembuka), Snack (makanan ringan) atau Sop, Dhahar (Makanan Utama), Es, lalu Kondur (pulang). Ya... mirip-miriplah dengan hidangan ala Eropa: Appetizer, main course, dessert.
Semua tamu diladeni tanpa perlu antre. Kalau acaranya di gedung, yang laden pihak dari catering. Kalau hajatannya di rumah, yang laden biasanya tenaga gotong royong dari Karang Taruna daerah setempat.
Seru ya? Seru dong (setidaknya bagi saya dan masyarakat Solo raya pada umumnya). Kenapa kok bisa seru? Karena:
1. Tamu tidak perlu desak-desakan antre makanan
2. Makan bisa sambil duduk. (terlepas dari konteks ajaran agama dan ilmu kesehatan, secara praktik sebenarnya ribet lho pegang clutch/ pouch/ dompet sambil pegang piring, terus ngunyah, belum kalau diajak ngobrol tamu lain. Kayak nggak khusyuk gitu makannya. Itu pandangan saya pribadi sih).
3. Bisa menikmati hiburan dan prosesi pernikahan secara keseluruhan
4. Pengantin masuk ke arena setelah semua tamu duduk dan keluar ketika hidangan selesai disajikan, sebagai bentuk penyambutan sekaligus tamu pulang dalam kondisi diaturke dengan pamitan.
Rasanya tuh jadi tamu diajeni betul gitu menurut saya.
Tapi bagi tim prasmanan-prasmanan club, tiga nikmat di atas bukanlah sebuah nikmat. Ini terbukti dari pengakuan orang-orang di luar Solo Raya, dan mungkin orang Solo yang lebih memilih prasmanan daripada piring terbang. Alasan mereka kurang lebih kalau dirangkum jadi begini:
1. Kesuwen alias kelamaan. Mereka tidak terbiasa duduk menikmati prosesi panggih manten yang bertele-tele. Kalau pun konsepnya modern (baik syari/ bridal), mereka juga tidak terlalu ambil peduli. Sebab kultur mereka dalam menghadiri pernikahan biasanya memang tidak untuk berlama-lama. Dimulai dari menulis buku tamu, salaman dengan pengantin, icip-icip sebentar, say hay 10-15 menit lalu pulang. Paling yang bertahan sampai acara selesai itu bridesmaid dan groomsman agar bisa foto-foto dengan pengantin. Sisanya, datang dan pergi seperti air mengalir atau mbanyu mili.
2. Bagi yang doyan makan, konsep piring terbang itu nggak "cucok".Apalagi kalau orangnya punya prinsip transaksional berbasis uang sumbangan yang diberikan. Mereka tidak leluasa untuk mengicipi varian menu yang beragam dan bisa ambil lebih dari dua kali. Disuruh ngantre juga mereka mau kok. Terlebih porsi nasi di konsep USDEK memang tidak terlalu banyak dan menunya itu-itu aja (nasi, semur daging cacah, sambel goreng, acar, krupuk). Sebagai kaum doyan makan, saya maklum sih. Hehehe
3. Sebagian besar dari mereka datang untuk "kondangan" bukan untuk "njagong". Perbedaan istilah ini juga mendasari pola kultur mereka dalam menghadiri acara pernikahan. "Kondangan" dalam KBBI memang memiliki makna "menghadiri undangan perkawinan","njagong" pun diberi makna serupa. Tetap di sini "njagong" merupakan kata yang diambil dari kata "jagongan", sebuah aktivitas percakapan, berinteraksi, atau mengobrol. Apakah yang kondangan tidak terjalin interaksi sama sekali? Tentu saja tidak juga. Mereka tetap ngobrol, tetap interaksi. Tetapi bisa dibayangkan ya level kedalaman interaksinya seperti apa?
Paling mentok ngobrol intensnya lebih dengan partner kondangannya. Kalau sama tamu yang lain cukup say hi, tanya kabar, sharegosip kabar hangat terbaru, terus "eh udah ya... aku ke sana dulu." "oh, oke. bye!"
Makanya terbukti kan kalau kondangan sendiri tu rasanya males banget? Kalau njagong mah beda. Kita tahu berangkat ke acaranya siapa, dan tahu betul siapa saja yang kira-kira diundang. Jadi datang ke acara nikahan betul-betul untuk silaturahim, ngobrol, dan kadang bisa jadi medium untuk reuni. Misal dari rumah berangkat sendiri, di tempat acara nggak benar-benar merasa sendirian.
Hmm, asik kan ya?
Konsep Pernikahan, Pembentukan Distingsi, dan Komentar Soal Budget
Sebisa-bisanya manusia pasti ada dicacatnya juga. hehehe
Keinginan saya untuk menyelenggarakan konsep pernikahan dengan suguhann piring terbang di Semarang ternyata tidak mudah dan akhirnya gagal juga. Kenapa demikian? Ya selain kondisi kultural yang sudah saya jelaskan di atas, secara konstruktif, holistik, dan berkesinambungan, vendor-vendor yang ada di Semarang tidak bisa mendukung terwujudnya fantasi pernikahan saya. (cieilah... makan tuh fantasi! wkwkwk)
Yang katanya "nanti ribet lho mbak, tamunya kan nggak dateng barengan", atau "gedungnya cuma muat kursi 150 mbak, nggak bisa lebih", dan "lha nanti karpet jalan buat pengantennya gimana mbak", plus masih ditambah "ntar tamunya belum tentu pada betah duduk dari awal sampe akhir lho mbak".
Hmm... sampe stres saya tuh nggak bisa tidur berhari-hari.
Tapi ya sudah, saya coba terima takdir, toh segala sesuatunya tidak mungkin terjadi karena izin-Nya. Jadi kalau memang harus prasmanan, mungkin memang yang terbaik harus begitu.
Orang lain bisa saja nyinyirin saya karena ingin konsep nikahan USDEK ala Solo dengan kata "sok syar'i", atau "sok beradab" tapi tidak tata mawa cara. Akhirnya saya juga makin stres ketika inget nasihat,"when you are in Rome, do as the romans do!"
Orang nikahnya di Semarang kok pake adat Solo. Ngawur kamu, Muth!
Sempat juga saya merasa tersudut karena dikira ingin berbeda. Kalau orang Kajian Budaya nyebutnya dengan istilah "distingsi" yang meminjam dari teorinya Bourdieu.
Ya, saya akui, saya memang ingin berbeda dari habitus pernikahan di Semarang. Tetapi secara kelas, sebenarnya saya sama saja. Hanya habitusnya saja yang berbeda.
Kok bisa secara kelas tidak?
Kalau konsep "kelas" di sini dilihatnya dari perhitungan kapital, alias modal duit yang dikeluarkan, maka sejatinya saya tidak mengalami banyak perbedaan dengan yang suguhannya prasmanan. Kenapa demikian? Sebab saya jelas harus nambah biaya sewa kursi. Pun, pihak katering minta tambahan charge yang lumayan untuk honor yang laden. Jadi kalau dihitung-hitung secara akumulatif akhirnya sama aja. Makanya saya agak geli kalau ada yang bilang saya mau piring terbang biar hemat budget. Tapi apalah saya yang tentu saja nggak mampu kontrol komentar warganet yang budiman.
Awalnya sih saya kira memang lebih hemat, tapi kenyataannya nggak tuh.
Kalau di Solo Raya sih memang betul lebih hemat. Sebab hitungannya jelas. Per tamu undangan bisa dihitung rentan 27-55 ribu/ orang saja, misal di hotel bisa sampai 120ribu paling mahal. Kalau di Semarang mau piring terbang? Ibunya katering meminta saya untuk menyiapkan budget sekurang-kurangnya 60ribu/ orang. Lebih mahal dari buffet dan porsian per pondokan kan? (FYI, menu pondokan @porsi 17-35ribu, buffet @orang 35-50ribu- ini harga dari vendor yang sama. setelah saya survey rata-rata memang harganya segitu)
Itulah kenapa kalau di Solo yang nikahnya prasmanan bener-bener melakukan proses distingsi, tidak hanya di ranah habitus, tetapi juga kelas. Soalnya kalau prasmanan di Solo jelas lebih mahal dan sulit diprediksi hitungan porsinya. Jadinya, budget yang dikeluarkan akhirnya lebih banyak daripada piring terbang.
Tapi ya gitu deh, semua balik ke selera dan kemampuan masing-masing. Tips dari sahabat saya sih: woles aja nggak usah stres, lakuin yang terbaik yang kamu bisa, sisanya undang orang-orang terdekat saja. Jadi semisal selama prosesi ada kekurangan, mereka tidak kemudian nyacat dan rasan-rasan di balik layar.
Eh, terima kasih ya sudah berkunjung dan berkenan membaca! Mohon maaf kalau konten ini agak sensitif dan terlihat keras kepala. Sebab sejatinya blog ini memang sampah-sampah pikiran saya.
Jangan kapok main sini lagi ya! Luvv you all...
Adab Makan sambil Duduk credits: FP Goresan Dody |
Sebagai individu yang sejak lahir di Semarang sampai lulus SMA, saya memang lebih familiar dengan konsep pernikahan yang menyuguhkan hidangan secara prasmanan. Para tamu disetting untuk antre makanan dan setelah dapat harus berdiri sambil berdesak-desakan untuk makan. Apakah tidak ada kursi? Biasanya ada, tapi jumlahnya hanya 1/10 dari jumlah undangan yang hadir.
Berbeda dengan konsep pernikahan yang ada di Solo Raya (Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen), pernikahan dengan cara piring terbang masih mudah untuk ditemui. Meskipun beberapa ada yang sudah beralih dengan menggunakan konsep prasmanan, tetapi piring terbang masih jadi andalan.
Pola menunya juga biasanya disebut dengan USDEK: Unjukan (minuman pembuka), Snack (makanan ringan) atau Sop, Dhahar (Makanan Utama), Es, lalu Kondur (pulang). Ya... mirip-miriplah dengan hidangan ala Eropa: Appetizer, main course, dessert.
Semua tamu diladeni tanpa perlu antre. Kalau acaranya di gedung, yang laden pihak dari catering. Kalau hajatannya di rumah, yang laden biasanya tenaga gotong royong dari Karang Taruna daerah setempat.
Seru ya? Seru dong (setidaknya bagi saya dan masyarakat Solo raya pada umumnya). Kenapa kok bisa seru? Karena:
1. Tamu tidak perlu desak-desakan antre makanan
2. Makan bisa sambil duduk. (terlepas dari konteks ajaran agama dan ilmu kesehatan, secara praktik sebenarnya ribet lho pegang clutch/ pouch/ dompet sambil pegang piring, terus ngunyah, belum kalau diajak ngobrol tamu lain. Kayak nggak khusyuk gitu makannya. Itu pandangan saya pribadi sih).
3. Bisa menikmati hiburan dan prosesi pernikahan secara keseluruhan
4. Pengantin masuk ke arena setelah semua tamu duduk dan keluar ketika hidangan selesai disajikan, sebagai bentuk penyambutan sekaligus tamu pulang dalam kondisi diaturke dengan pamitan.
Rasanya tuh jadi tamu diajeni betul gitu menurut saya.
Tapi bagi tim prasmanan-prasmanan club, tiga nikmat di atas bukanlah sebuah nikmat. Ini terbukti dari pengakuan orang-orang di luar Solo Raya, dan mungkin orang Solo yang lebih memilih prasmanan daripada piring terbang. Alasan mereka kurang lebih kalau dirangkum jadi begini:
1. Kesuwen alias kelamaan. Mereka tidak terbiasa duduk menikmati prosesi panggih manten yang bertele-tele. Kalau pun konsepnya modern (baik syari/ bridal), mereka juga tidak terlalu ambil peduli. Sebab kultur mereka dalam menghadiri pernikahan biasanya memang tidak untuk berlama-lama. Dimulai dari menulis buku tamu, salaman dengan pengantin, icip-icip sebentar, say hay 10-15 menit lalu pulang. Paling yang bertahan sampai acara selesai itu bridesmaid dan groomsman agar bisa foto-foto dengan pengantin. Sisanya, datang dan pergi seperti air mengalir atau mbanyu mili.
2. Bagi yang doyan makan, konsep piring terbang itu nggak "cucok".
3. Sebagian besar dari mereka datang untuk "kondangan" bukan untuk "njagong". Perbedaan istilah ini juga mendasari pola kultur mereka dalam menghadiri acara pernikahan. "Kondangan" dalam KBBI memang memiliki makna "menghadiri undangan perkawinan","njagong" pun diberi makna serupa. Tetap di sini "njagong" merupakan kata yang diambil dari kata "jagongan", sebuah aktivitas percakapan, berinteraksi, atau mengobrol. Apakah yang kondangan tidak terjalin interaksi sama sekali? Tentu saja tidak juga. Mereka tetap ngobrol, tetap interaksi. Tetapi bisa dibayangkan ya level kedalaman interaksinya seperti apa?
Paling mentok ngobrol intensnya lebih dengan partner kondangannya. Kalau sama tamu yang lain cukup say hi, tanya kabar, share
Makanya terbukti kan kalau kondangan sendiri tu rasanya males banget? Kalau njagong mah beda. Kita tahu berangkat ke acaranya siapa, dan tahu betul siapa saja yang kira-kira diundang. Jadi datang ke acara nikahan betul-betul untuk silaturahim, ngobrol, dan kadang bisa jadi medium untuk reuni. Misal dari rumah berangkat sendiri, di tempat acara nggak benar-benar merasa sendirian.
Hmm, asik kan ya?
Konsep Pernikahan, Pembentukan Distingsi, dan Komentar Soal Budget
Sebisa-bisanya manusia pasti ada dicacatnya juga. hehehe
Keinginan saya untuk menyelenggarakan konsep pernikahan dengan suguhann piring terbang di Semarang ternyata tidak mudah dan akhirnya gagal juga. Kenapa demikian? Ya selain kondisi kultural yang sudah saya jelaskan di atas, secara konstruktif, holistik, dan berkesinambungan, vendor-vendor yang ada di Semarang tidak bisa mendukung terwujudnya fantasi pernikahan saya. (cieilah... makan tuh fantasi! wkwkwk)
Yang katanya "nanti ribet lho mbak, tamunya kan nggak dateng barengan", atau "gedungnya cuma muat kursi 150 mbak, nggak bisa lebih", dan "lha nanti karpet jalan buat pengantennya gimana mbak", plus masih ditambah "ntar tamunya belum tentu pada betah duduk dari awal sampe akhir lho mbak".
Hmm... sampe stres saya tuh nggak bisa tidur berhari-hari.
Tapi ya sudah, saya coba terima takdir, toh segala sesuatunya tidak mungkin terjadi karena izin-Nya. Jadi kalau memang harus prasmanan, mungkin memang yang terbaik harus begitu.
Orang lain bisa saja nyinyirin saya karena ingin konsep nikahan USDEK ala Solo dengan kata "sok syar'i", atau "sok beradab" tapi tidak tata mawa cara. Akhirnya saya juga makin stres ketika inget nasihat,"when you are in Rome, do as the romans do!"
Orang nikahnya di Semarang kok pake adat Solo. Ngawur kamu, Muth!
Sempat juga saya merasa tersudut karena dikira ingin berbeda. Kalau orang Kajian Budaya nyebutnya dengan istilah "distingsi" yang meminjam dari teorinya Bourdieu.
Ya, saya akui, saya memang ingin berbeda dari habitus pernikahan di Semarang. Tetapi secara kelas, sebenarnya saya sama saja. Hanya habitusnya saja yang berbeda.
Kok bisa secara kelas tidak?
Kalau konsep "kelas" di sini dilihatnya dari perhitungan kapital, alias modal duit yang dikeluarkan, maka sejatinya saya tidak mengalami banyak perbedaan dengan yang suguhannya prasmanan. Kenapa demikian? Sebab saya jelas harus nambah biaya sewa kursi. Pun, pihak katering minta tambahan charge yang lumayan untuk honor yang laden. Jadi kalau dihitung-hitung secara akumulatif akhirnya sama aja. Makanya saya agak geli kalau ada yang bilang saya mau piring terbang biar hemat budget. Tapi apalah saya yang tentu saja nggak mampu kontrol komentar warganet yang budiman.
Awalnya sih saya kira memang lebih hemat, tapi kenyataannya nggak tuh.
Kalau di Solo Raya sih memang betul lebih hemat. Sebab hitungannya jelas. Per tamu undangan bisa dihitung rentan 27-55 ribu/ orang saja, misal di hotel bisa sampai 120ribu paling mahal. Kalau di Semarang mau piring terbang? Ibunya katering meminta saya untuk menyiapkan budget sekurang-kurangnya 60ribu/ orang. Lebih mahal dari buffet dan porsian per pondokan kan? (FYI, menu pondokan @porsi 17-35ribu, buffet @orang 35-50ribu- ini harga dari vendor yang sama. setelah saya survey rata-rata memang harganya segitu)
Itulah kenapa kalau di Solo yang nikahnya prasmanan bener-bener melakukan proses distingsi, tidak hanya di ranah habitus, tetapi juga kelas. Soalnya kalau prasmanan di Solo jelas lebih mahal dan sulit diprediksi hitungan porsinya. Jadinya, budget yang dikeluarkan akhirnya lebih banyak daripada piring terbang.
Tapi ya gitu deh, semua balik ke selera dan kemampuan masing-masing. Tips dari sahabat saya sih: woles aja nggak usah stres, lakuin yang terbaik yang kamu bisa, sisanya undang orang-orang terdekat saja. Jadi semisal selama prosesi ada kekurangan, mereka tidak kemudian nyacat dan rasan-rasan di balik layar.
Eh, terima kasih ya sudah berkunjung dan berkenan membaca! Mohon maaf kalau konten ini agak sensitif dan terlihat keras kepala. Sebab sejatinya blog ini memang sampah-sampah pikiran saya.
Jangan kapok main sini lagi ya! Luvv you all...
uhuk
BalasHapusUdah dikasih credit lho bosque... ��
BalasHapusNgeriiiiih
BalasHapus