Kalo aku idealis, kalian masih mau nggak ngobrol sama aku?
Kalo aku aktivis, kalian masih mau nggak temenan sama aku? :')
"Admin Sasing resign. HMJ sekarang kudu ngurus birokrasi sendiri dan nggak ada yang bantuin lagi ngurus pencairan dana ke Dekanat," kata Karin saat jeda kuliah pagi itu. Astrid sudah menduga hari ini akan terjadi, hari dimana orang yang bekerja rodi setiap hari yang sering ia repoti perkara birokrasi HMJ akan mengundurkan diri.
"Aku udah ngira dari awal ujungnya bakal kayak begini. World Class University ini emang belum tau caranya memperlakukan karyawan-karyawan loyal semacam mbak Tina," jawab Astrid datar.
"Maksudnya?" tanya Ifa.
Astrid pun mulai berorasi. Ia jelaskan detil perkara mengapa mbak Tina akhirnya memutuskan untuk resign. Kesibukannya yang sedang melanjutkan studi S2 dan pekerjaannya yang segunung membuatnya menyerah secara perlahan. Entah itu pesanan dari dosen, mahasiswa, atau tekanan dari birokrasi fakultas yang ribetnya luar biasa memicu mbak Tina akhirnya angkat tangan. Telebih dengan gaji yang tidak seberapa, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Karin dan Ifa mulai mengangguk paham.
"Rank is just a number... Kasian, akreditasi Universitas kita A tapi ya cuma orang dalem yang tahu bobrok yang sebenernya. Mereka bangga punya mahasiswa dan karyawan yang berkualitas tapi nggak pernah mau tahu perjuangan yang sebenernya, yang mereka tahu cuma hasilnya... mereka... ," belum selesai Astrid berorasi, Ifa dan Karin pun langsung melotot dan memotong pembicaraannya.
"Alon-alon wae nek ngomong... Jiwa aktivismu nggak usah dikeluarin di sini juga kali, nek"
Ifa dan Karin seperti sedikit tercengang mendengar statement dari Astrid. Mereka berdua seperti agak malu melihat Astrid yang kadang bermulut sengit sedang berapi-api dengan idealismenya. Astrid yang mendadak dipotong orasinya pun menjadi malu setengah mati.
Ia merasa salah tempat dan partner untuk memaparkan opini dan ideologinya.
Sekejap Astrid diam seribu bahasa. Ia merasa tertampar. Ia dalam hati berjanji pada dirinya sendiri, "Aku tidak akan lagi berbicara tentang ideologi di lingkungan ini. Tidak akan lagi."
Sepulangnya Astrid ke kost, ia terbaring lama di atas kasurnya sambil melihat galeri foto-fotonya bersama Ifa dan Karin. Dulunya Astrid memang tidak terlalu dekat dengan mereka berdua. Ia datang dari kumpulan yang berbeda dan memisahkan diri karena perbedaan prinsip dan idealisme. Astrid yang sudah terbiasa menjadi cewek mall, hobby dandan, dan suka jalan-jalan merasa lebih cocok bersama Ifa dan Karin.
Sekarang Astrid tetap suka ke mall, dandan, dan jalan-jalan. Tapi lihatlah, kesibukannya membuat ia mulai jarang jalan bertiga seperti sebelumnya. Lingkungan barunya mulai membentuk pribadi yang berbeda. Astrid sudah tidak lagi seru untuk diajak berbincang soal pacaran, fashion terbaru, dan gosip terbaru.
Sempat Ifa dan Karin menyarankan pada Astrid untuk tidak terlalu sibuk dengan kegiatan di luar agar sahabatnya itu bisa lulus tepat waktu. Mereka menyayangkan nilai-nilai Astrid yang sering naik turun dan tidak sestabil dulu. Padahal Astrid sedang senang-senangnya berkegiatan di luar dan mencari pencapaian-pencapaian baru. Ia merasa duduk di kelas hanyalah untuk mencari nilai. Pengalaman dan ilmu cuma sepersekiannya saja. Yah... idealisme-idealisme semacam itulah yang akhir-akhir ini membuat mereka bertiga clash akhir-akhir ini. Walaupun Astrid juga tidak bisa naif, bahwa ia masih ingin cumlaude seperti semester awal dulu. Nasihat Ifa dan Karin pun sering terpikir olehnya, tapi ia seperti tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tidak mungkin aku meninggalkan mereka seperti yang sudah ku lakukan pada teman-temanku sebelumnya... Manusia pasti berubah, tapi aku picik jika harus berkali-kali meninggalkan pertemanan karena merasa bosan dan tidak nyaman oleh perbedaan prinsip dan idealisme."
"...Aku tidak boleh pergi... Aku hanya perlu mengontrol diri dan memilah-milah sendiri, dengan siapa dan harus bagaimana aku berbicara"
Sementara Astrid sibuk dengan kontemplasi panjangnya, HPnya pun berdering. Ia melihat Ifa mengirim SMS yang berbunyi, "Besok jalan yuk..."
Astrid pun tersenyum sendiri dan segera membalas SMS itu, "Hayuklah :)"
"Semoga mereka memang teman-teman yang pantas ku pertahankan. Semoga perubahanku saat ini juga tidak membuat mereka enggan menganggapku sebagai teman. Semoga... Love you both, nek..." kata Astrid dalam hati.
Kalo aku aktivis, kalian masih mau nggak temenan sama aku? :')
"Admin Sasing resign. HMJ sekarang kudu ngurus birokrasi sendiri dan nggak ada yang bantuin lagi ngurus pencairan dana ke Dekanat," kata Karin saat jeda kuliah pagi itu. Astrid sudah menduga hari ini akan terjadi, hari dimana orang yang bekerja rodi setiap hari yang sering ia repoti perkara birokrasi HMJ akan mengundurkan diri.
"Aku udah ngira dari awal ujungnya bakal kayak begini. World Class University ini emang belum tau caranya memperlakukan karyawan-karyawan loyal semacam mbak Tina," jawab Astrid datar.
"Maksudnya?" tanya Ifa.
Astrid pun mulai berorasi. Ia jelaskan detil perkara mengapa mbak Tina akhirnya memutuskan untuk resign. Kesibukannya yang sedang melanjutkan studi S2 dan pekerjaannya yang segunung membuatnya menyerah secara perlahan. Entah itu pesanan dari dosen, mahasiswa, atau tekanan dari birokrasi fakultas yang ribetnya luar biasa memicu mbak Tina akhirnya angkat tangan. Telebih dengan gaji yang tidak seberapa, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Karin dan Ifa mulai mengangguk paham.
"Rank is just a number... Kasian, akreditasi Universitas kita A tapi ya cuma orang dalem yang tahu bobrok yang sebenernya. Mereka bangga punya mahasiswa dan karyawan yang berkualitas tapi nggak pernah mau tahu perjuangan yang sebenernya, yang mereka tahu cuma hasilnya... mereka... ," belum selesai Astrid berorasi, Ifa dan Karin pun langsung melotot dan memotong pembicaraannya.
"Alon-alon wae nek ngomong... Jiwa aktivismu nggak usah dikeluarin di sini juga kali, nek"
Ifa dan Karin seperti sedikit tercengang mendengar statement dari Astrid. Mereka berdua seperti agak malu melihat Astrid yang kadang bermulut sengit sedang berapi-api dengan idealismenya. Astrid yang mendadak dipotong orasinya pun menjadi malu setengah mati.
Ia merasa salah tempat dan partner untuk memaparkan opini dan ideologinya.
Sekejap Astrid diam seribu bahasa. Ia merasa tertampar. Ia dalam hati berjanji pada dirinya sendiri, "Aku tidak akan lagi berbicara tentang ideologi di lingkungan ini. Tidak akan lagi."
Sepulangnya Astrid ke kost, ia terbaring lama di atas kasurnya sambil melihat galeri foto-fotonya bersama Ifa dan Karin. Dulunya Astrid memang tidak terlalu dekat dengan mereka berdua. Ia datang dari kumpulan yang berbeda dan memisahkan diri karena perbedaan prinsip dan idealisme. Astrid yang sudah terbiasa menjadi cewek mall, hobby dandan, dan suka jalan-jalan merasa lebih cocok bersama Ifa dan Karin.
Sekarang Astrid tetap suka ke mall, dandan, dan jalan-jalan. Tapi lihatlah, kesibukannya membuat ia mulai jarang jalan bertiga seperti sebelumnya. Lingkungan barunya mulai membentuk pribadi yang berbeda. Astrid sudah tidak lagi seru untuk diajak berbincang soal pacaran, fashion terbaru, dan gosip terbaru.
Sempat Ifa dan Karin menyarankan pada Astrid untuk tidak terlalu sibuk dengan kegiatan di luar agar sahabatnya itu bisa lulus tepat waktu. Mereka menyayangkan nilai-nilai Astrid yang sering naik turun dan tidak sestabil dulu. Padahal Astrid sedang senang-senangnya berkegiatan di luar dan mencari pencapaian-pencapaian baru. Ia merasa duduk di kelas hanyalah untuk mencari nilai. Pengalaman dan ilmu cuma sepersekiannya saja. Yah... idealisme-idealisme semacam itulah yang akhir-akhir ini membuat mereka bertiga clash akhir-akhir ini. Walaupun Astrid juga tidak bisa naif, bahwa ia masih ingin cumlaude seperti semester awal dulu. Nasihat Ifa dan Karin pun sering terpikir olehnya, tapi ia seperti tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tidak mungkin aku meninggalkan mereka seperti yang sudah ku lakukan pada teman-temanku sebelumnya... Manusia pasti berubah, tapi aku picik jika harus berkali-kali meninggalkan pertemanan karena merasa bosan dan tidak nyaman oleh perbedaan prinsip dan idealisme."
"...Aku tidak boleh pergi... Aku hanya perlu mengontrol diri dan memilah-milah sendiri, dengan siapa dan harus bagaimana aku berbicara"
Sementara Astrid sibuk dengan kontemplasi panjangnya, HPnya pun berdering. Ia melihat Ifa mengirim SMS yang berbunyi, "Besok jalan yuk..."
Astrid pun tersenyum sendiri dan segera membalas SMS itu, "Hayuklah :)"
"Semoga mereka memang teman-teman yang pantas ku pertahankan. Semoga perubahanku saat ini juga tidak membuat mereka enggan menganggapku sebagai teman. Semoga... Love you both, nek..." kata Astrid dalam hati.
Komentar
Posting Komentar