Di saat sudah terlalu banyak manusia yang butuh waktu lebih, ternyata kini penyakit baru mulai muncul dengan keinginan memiliki diri yang lebih.
Maksud saya begini, problema manusia zaman sekarang (yang sibuk) berharap ingin memiliki waktu lebih dari 24 jam sehari, 7 hari semi minggu, dan seterusnya. Nah, perkembangan dari penyakit ini menjadikan si manusia menjadi jauh lebih super sibuk. Bukan hal yang asing ketika manusia-manusia pemegang kuasa, pengemban amanah, dan terpilih itu dituntut untuk mampu memenuhi lebih dari satu agenda dalam satu waktu yang sama.
Bukankah itu tidak mungkin?
Adalah mustahil untuk meng-copy diri kita sendiri menjadi lebih dari satu untuk memenuhi setiap agenda yang menuntut kita hadir dalam satu waktu yang sama.
Imajinasi yang liar pun berkata, "seandainya manusia mampu membelah diri"
Pikiran macam apa lagi ini
Akhirnya perkara prioritaslah yang menjadi jawaban dari permasalahan ini. Mana yang menjadi prioritasmu, itulah yang akan kamu pilih. Dan setiap prioritas yang menjadi pilihan, maka harus ada yang dikorbankan. Dan jangan sampai salah dalam memberi pengorbanan... walaupun pada akhirnya tidak ada pengorbanan yang sia-sia, setidaknya kita perlu jeli dalam menentukan prioritas.
Hikmah kisah ini saya dapat dari salah satu kawan perjalanan saya selama sepekan kemarin. Hari keberangkatan kami benar-benar berpapasan dengan panggilan wawancara yang dilayangkan untuknya dari sebuah perusahaan internasional yang cukup ternama. Namun pada akhirnya ia tetap memilih berangkat bersama kami dan menanggalkan panggilan wawancara tersebut.
Saat saya tanya kenapa dan bagaimana bisa ia mengorbankan kesempatan emas ini, ia pun menjawab dengan pandangan luas yang terbuang. Ia berkata bahwa wawancara ini bukan menjadi kesempatan emas yang tidak bisa didapat di lain hari. Sebab lolosnya tahap wawancara ini belum menjamin ia langsung bisa menjadi bagian dari perusahaan terebut, masih ada beberapa tahap lagi yang harus dijalani. Sedangkan perjalanan yang-mungkin-hanya-sepekan kemarin telah menjadi prioritasnya.
Maka kukuatkan pendiriannya untuk mengikhlaskan yang telah dilepaskannya. Sambil berkata, "Mungkin belum rezekinya, mas. Insya Allah nanti dapet kesempatan yang jauh lebih baik lagi." aku mencoba menanggapi ceritanya.
Mungkin istikharah adalah jawaban dan solusi dari perkara semacam ini, bukan malah memiliki keinginan untuk membelah diri. Jika boleh jujur, mungkin aku dan dia juga sepakat untuk bisa mendapatkan keduanya. Ya wawancara, ya berangkat ke Malaysia. Tapi kita manusia... ada limitasi yang menahan kita untuk bisa memilih dan memutuskan.
Bukankah dengan memilih kita pun diajarkan bijaksana? Bukankah dengan belajar arti pengorbanan kita berlatih agar tidak serakah?
Maksud saya begini, problema manusia zaman sekarang (yang sibuk) berharap ingin memiliki waktu lebih dari 24 jam sehari, 7 hari semi minggu, dan seterusnya. Nah, perkembangan dari penyakit ini menjadikan si manusia menjadi jauh lebih super sibuk. Bukan hal yang asing ketika manusia-manusia pemegang kuasa, pengemban amanah, dan terpilih itu dituntut untuk mampu memenuhi lebih dari satu agenda dalam satu waktu yang sama.
Bukankah itu tidak mungkin?
Adalah mustahil untuk meng-copy diri kita sendiri menjadi lebih dari satu untuk memenuhi setiap agenda yang menuntut kita hadir dalam satu waktu yang sama.
Imajinasi yang liar pun berkata, "seandainya manusia mampu membelah diri"
Pikiran macam apa lagi ini
Akhirnya perkara prioritaslah yang menjadi jawaban dari permasalahan ini. Mana yang menjadi prioritasmu, itulah yang akan kamu pilih. Dan setiap prioritas yang menjadi pilihan, maka harus ada yang dikorbankan. Dan jangan sampai salah dalam memberi pengorbanan... walaupun pada akhirnya tidak ada pengorbanan yang sia-sia, setidaknya kita perlu jeli dalam menentukan prioritas.
Hikmah kisah ini saya dapat dari salah satu kawan perjalanan saya selama sepekan kemarin. Hari keberangkatan kami benar-benar berpapasan dengan panggilan wawancara yang dilayangkan untuknya dari sebuah perusahaan internasional yang cukup ternama. Namun pada akhirnya ia tetap memilih berangkat bersama kami dan menanggalkan panggilan wawancara tersebut.
Saat saya tanya kenapa dan bagaimana bisa ia mengorbankan kesempatan emas ini, ia pun menjawab dengan pandangan luas yang terbuang. Ia berkata bahwa wawancara ini bukan menjadi kesempatan emas yang tidak bisa didapat di lain hari. Sebab lolosnya tahap wawancara ini belum menjamin ia langsung bisa menjadi bagian dari perusahaan terebut, masih ada beberapa tahap lagi yang harus dijalani. Sedangkan perjalanan yang-mungkin-hanya-sepekan kemarin telah menjadi prioritasnya.
Maka kukuatkan pendiriannya untuk mengikhlaskan yang telah dilepaskannya. Sambil berkata, "Mungkin belum rezekinya, mas. Insya Allah nanti dapet kesempatan yang jauh lebih baik lagi." aku mencoba menanggapi ceritanya.
Mungkin istikharah adalah jawaban dan solusi dari perkara semacam ini, bukan malah memiliki keinginan untuk membelah diri. Jika boleh jujur, mungkin aku dan dia juga sepakat untuk bisa mendapatkan keduanya. Ya wawancara, ya berangkat ke Malaysia. Tapi kita manusia... ada limitasi yang menahan kita untuk bisa memilih dan memutuskan.
Bukankah dengan memilih kita pun diajarkan bijaksana? Bukankah dengan belajar arti pengorbanan kita berlatih agar tidak serakah?
Setelah baca tulisan ini aku rekomendasikan kamu baca buku terjemahan judulnya semacam "getting more by doing less" atau apa gitu. Tempo hari aku liat di Toga Mas dan sempet baca sekilas.
BalasHapusBtw, aku suka bgt sama kalimat penutup tulisan ini. Nice work.