Maish dengan permasalahan yang sama. Setelah merasakan keluhan manusia modern yang diwajibkan hidup konvensional saat KKN terkait kesulitan sinyal, kali ini saya menghadapi hal serupa dengan kemasan yang berbeda. Sebab hakikatnya saat itu saya berdiri di tanah yang serba modern dan canggih. Seratus delapan puluh derajad jika dibandingkan dengan kondisi lokasi saat KKN kemarin.
Sebutlah ia dengan nama "Changi". Sebuah bandar udara yang terletak di negara kecil bernama Singapura. Konon katanya Changi merupakan bandar udara terbaik di Asia. Bagi traveler pemula, sekaligus seseorang yang baru saja keluar negeri pertama kali seperti saya, melihat Changi kemarin membuat saya ternganga. CGK seems nothing to be compared.
-ENOUGH-
Kali ini saya tidak ingin berpanjang lebar tentang kecanggihan dan sisi modern yang disuguhkan Changi kepada kami. Hanya saja, saat kami menginjakkan kaki di sana, saya mengamati perilaku mayoritas teman-teman saya yang sibuk mencari signal internet. Bukan, bukan untuk menghubungi saudara atau kerabat. Tapi mereka sekedar ingin "check-in".
That's the phenomenon. Sayangnya, modernitas yang disuguhkan di Changi pun tidak diberikan secara percuma. Di sana memang dituliskan "Free Wi-fi connection", tapi nyatanya kita harus tetap mendapatkan koneksi tersebut dengan cara mengantre di Customer Service untuk mendapatkan username dan password yang berbeda. Setelah dapat, kita masih membayar modernitas itu dengan satu hal yang lebih berharga, interaksi dengan sesama.
Dunia ini selalu klise jika dalam urusan menawarkan hal yang berbau gratisan. Hal ini juga diperparah dengan mental manusia Indonesia yang begitu gemar dan mudah tertipu dengan hal-hal yang mampu meningkatkan prestige, tanpa perlu mengeluarkan biaya.
Smartphone saya memang sudah tidak bisa bekerja dengan sempurna. Sehingga takdir mengatakan bahwa saya tidak bisa ikut-ikutan check in seperti teman-teman saya yang lainnya. Akhirnya saya bisa melongo dan lebih memilih membaca buku yang saya bawa dari Indonesia untuk sekedar membunuh waktu.
Kemudian saya jadi berpikir. Kalau saja sosial media dan smartphone sudah ditemukan sejak zaman Marcopolo dan Amerigo Ves Puci berkelana, apakah ia masih sempat melakukan invasi ya? Mungkinkah mereka juga akan lebih asik menunjukkan kepada teman-teman di daerah asalnya bahwa ia sudah sampai di tanah yang kemudian diberi nama Amerika, setelah berlayar mengarungi samudera?
Ini perjalanan untuk saya ambil hikmahnya, maknanya. Semoga kelak Indonesia, di tangan generasi saya, bisa memiliki bandar udara yang jauh lebih maju mengalahkan Changi untuk menjadi bandar udara terbaik di dunia. Yang tidak hanya menyuguhkan modernitas, tetapi juga ruang untuk berinteraksi dengan sesama. Aamiin.
Sebutlah ia dengan nama "Changi". Sebuah bandar udara yang terletak di negara kecil bernama Singapura. Konon katanya Changi merupakan bandar udara terbaik di Asia. Bagi traveler pemula, sekaligus seseorang yang baru saja keluar negeri pertama kali seperti saya, melihat Changi kemarin membuat saya ternganga. CGK seems nothing to be compared.
-ENOUGH-
Kali ini saya tidak ingin berpanjang lebar tentang kecanggihan dan sisi modern yang disuguhkan Changi kepada kami. Hanya saja, saat kami menginjakkan kaki di sana, saya mengamati perilaku mayoritas teman-teman saya yang sibuk mencari signal internet. Bukan, bukan untuk menghubungi saudara atau kerabat. Tapi mereka sekedar ingin "check-in".
That's the phenomenon. Sayangnya, modernitas yang disuguhkan di Changi pun tidak diberikan secara percuma. Di sana memang dituliskan "Free Wi-fi connection", tapi nyatanya kita harus tetap mendapatkan koneksi tersebut dengan cara mengantre di Customer Service untuk mendapatkan username dan password yang berbeda. Setelah dapat, kita masih membayar modernitas itu dengan satu hal yang lebih berharga, interaksi dengan sesama.
Dunia ini selalu klise jika dalam urusan menawarkan hal yang berbau gratisan. Hal ini juga diperparah dengan mental manusia Indonesia yang begitu gemar dan mudah tertipu dengan hal-hal yang mampu meningkatkan prestige, tanpa perlu mengeluarkan biaya.
Smartphone saya memang sudah tidak bisa bekerja dengan sempurna. Sehingga takdir mengatakan bahwa saya tidak bisa ikut-ikutan check in seperti teman-teman saya yang lainnya. Akhirnya saya bisa melongo dan lebih memilih membaca buku yang saya bawa dari Indonesia untuk sekedar membunuh waktu.
Kemudian saya jadi berpikir. Kalau saja sosial media dan smartphone sudah ditemukan sejak zaman Marcopolo dan Amerigo Ves Puci berkelana, apakah ia masih sempat melakukan invasi ya? Mungkinkah mereka juga akan lebih asik menunjukkan kepada teman-teman di daerah asalnya bahwa ia sudah sampai di tanah yang kemudian diberi nama Amerika, setelah berlayar mengarungi samudera?
Ini perjalanan untuk saya ambil hikmahnya, maknanya. Semoga kelak Indonesia, di tangan generasi saya, bisa memiliki bandar udara yang jauh lebih maju mengalahkan Changi untuk menjadi bandar udara terbaik di dunia. Yang tidak hanya menyuguhkan modernitas, tetapi juga ruang untuk berinteraksi dengan sesama. Aamiin.
bukan hanya melewatkan kesempatan berinteraksi dengan sesama, tapi juga kesempatan ngobrol sama bule juga kali ya. :D
BalasHapus