Resensi Selimut Debu
Judul Buku: Selimut Debu
Penulis: Agustinus Wibowo
Seperti halnya mereka yang belum tahu siapa Agustinus Wibowo, saya pun mengira bahwa buku ini merupakan sebuah novel, fiksi. Namun saat membaca Kata Pengantar, saya sebagai pembaca pemula Agustinus secara naluriah diantarkan untuk bersiap-siap mengarungi perjalanan panjang. Dan ternyata benar, buku ini saya habiskan dalam waktu yang cukup lama. Satu bulan. Benar-benar sebuah perjalanan.
Tidak seperti catatan perjalanan yang ditulis oleh mereka, yang mendeklarasikan diri sebagai traveller, buku ini tampil dengan kesan yang berbeda. Agustinus tidak hanya memaparkan bagaimana keadaan tanah Afganistan, tetapi juga "bantal guling" kumuh yang ada di balik Selimut Debu negeri ini.
Saya dibuat tercengang dengan tidak amanahnya para relawan dan pegawai PBB yang hidup mewah di tengah negeri yang susah. Kultur yang terlalu "memahalkan" perempuan hingga menyebabkan banyak laki-laki yang memilih menjadi pedofil dan penganut homoseks pun membuat saya geleng-geleng kepala.
Selain itu, cara Agustinus menyampaikan kesenjangan-kesenjangan hidup di perbatasan antara Pakistan, Afghanistan, dan Iran mampu membuat imajinasi pembaca harus men-setting maju mundur secara otomatis. Tak bisa dipungkiri, ia seakan menggambarkan bahwa negara-negara Islam yang bertetangga ternyata bisa terpecah-pecah ideologi dan kulturnya.
Sayangnya, diksi yang digunakan oleh Agustinus tidak dibuat untuk bacaan menjelang waktu tidur. Perlu konsentrasi dan fokus dalam membaca dan menelaah buku ini.
Bagi pembaca pemula seperti saya, menghabiskan 469 halaman buku ini sepertinya sudah sama beratnya dengan perjalanan dan perjuangan penulis selama di Afghanistan.
Judul Buku: Selimut Debu
Penulis: Agustinus Wibowo
Seperti halnya mereka yang belum tahu siapa Agustinus Wibowo, saya pun mengira bahwa buku ini merupakan sebuah novel, fiksi. Namun saat membaca Kata Pengantar, saya sebagai pembaca pemula Agustinus secara naluriah diantarkan untuk bersiap-siap mengarungi perjalanan panjang. Dan ternyata benar, buku ini saya habiskan dalam waktu yang cukup lama. Satu bulan. Benar-benar sebuah perjalanan.
Tidak seperti catatan perjalanan yang ditulis oleh mereka, yang mendeklarasikan diri sebagai traveller, buku ini tampil dengan kesan yang berbeda. Agustinus tidak hanya memaparkan bagaimana keadaan tanah Afganistan, tetapi juga "bantal guling" kumuh yang ada di balik Selimut Debu negeri ini.
Saya dibuat tercengang dengan tidak amanahnya para relawan dan pegawai PBB yang hidup mewah di tengah negeri yang susah. Kultur yang terlalu "memahalkan" perempuan hingga menyebabkan banyak laki-laki yang memilih menjadi pedofil dan penganut homoseks pun membuat saya geleng-geleng kepala.
Selain itu, cara Agustinus menyampaikan kesenjangan-kesenjangan hidup di perbatasan antara Pakistan, Afghanistan, dan Iran mampu membuat imajinasi pembaca harus men-setting maju mundur secara otomatis. Tak bisa dipungkiri, ia seakan menggambarkan bahwa negara-negara Islam yang bertetangga ternyata bisa terpecah-pecah ideologi dan kulturnya.
Sayangnya, diksi yang digunakan oleh Agustinus tidak dibuat untuk bacaan menjelang waktu tidur. Perlu konsentrasi dan fokus dalam membaca dan menelaah buku ini.
Bagi pembaca pemula seperti saya, menghabiskan 469 halaman buku ini sepertinya sudah sama beratnya dengan perjalanan dan perjuangan penulis selama di Afghanistan.
Komentar
Posting Komentar