Memasuki hari ketiga, 25 Februari 2015, seluruh peserta
Jenesys 2.0 Batch 11 mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu museum
yang bernama Miraikan. Ini merupakan museum nasional yang menampilkan tekhnologi
mutakhir. Lokasinya terletak di Daiba, Tokyo.
Tidak seperti kebanyakan museum yang ada di Indonesia,
Miraikan menampilkan sesuatu yang lain dari sudut pandang saya. Sesuai dengan namanya
yang berarti “masa depan”, museum ini sama sekali tidak menampilkan hal-hal
yang berbau masa lalu. Sekali pun ada, itu hanya secuil dari sekian benda yang
dipamerkan.
Beberapa contoh seperti kutipan
berikut:
Gambar 1
(Atas):
“Message from Le Corbusier – When old ways of doing
things leave you stranded, try an approach based on an entirely new concept unconstrained by the
old methods and assumptions.”
Gambar 2 (Bawah):
ALTERNATIVE CREATIVITY - New ideas unconstrained by traditional values give us the ability
to create new things”
Keduanya menjelaskan bahwa old things memang seharusnya dipertahankan tetapi bukan untuk
dibiarkan old tanpa perubahan.
Menurut mereka, semuanya membutuhkan modifikasi untuk menciptakan sebuah
kreativitas baru. Dengan begitu, mereka mampu berpikir cerdas dan visioner
dalam menciptakan hal-hal yang lebih bermanfaat untuk masa kini dan masa yang
akan datang. Semua itu tercipta tanpa perlu meninggalkan nilai-nilai dan
norma-norma tradisional.
Pemikiran ini seharusnya bisa diadaptasi oleh masyarakat
Indonesia. Jepang menjadi modern tanpa kehilangan jati diri. Melalui Miraikan,
saya melihat ideologi masyarakat Jepang yang begitu berorientasi pada masa
depan daripada tenggelam dalam masa lalu. Walaupun begitu, mereka tidak
kehilangan jati diri dengan tetap mempertahankan identitas Jepang melalui
nilai-nilai lama (old things) yang
dimodifikasi secara kreatif.
Sayangnya, masyarakat Indonesia sudah termaktub pada bidal
“JAS MERAH” yang merupakan singkatan dari “Jangan Melupakan Sejarah”. Bisa
dilihat bersama bahwa museum di Indonesia hampir terlihat homogen dengan
menampilkan patung, arca, dan benda-benda bersejarah
lainnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menggunggat bahwa belajar sejarah
itu tidak penting. Terlepas dari mayoritas masyarakat Indonesia yang tidak suka
membaca, mereka juga tidak gemar mengunjungi museum. Hal itu diperparah dengan
kurangnya modifikasi yang menarik dari pengelola museum agar masyarakat lebih
tertarik untuk berkunjung.
Maka, jangan heran jika kita, bangsa Indonesia, seolah-olah
hanya berjalan di tempat. Tidak maju, tidak juga mundur. Sebab kecenderungan
dari kita yang mudah mengadopsi new
things tanpa tahu jati diri, sebab tak betul-betul mempelajari sejarah, apalagi sampai berhasil mempertahankan old values.
Bukankah begitu?
thanks infonya
BalasHapus