Saat melihat Subway dan Shinkansen yang ada di Jepang,
seketika saya teringat pada tulisan Anif Punto yang dibukukan dengan judul
“Negara Kuli”. Kalau tak salah ingat, salah satu tulisannya menyebutkan bahwa
negeri kita tercinta ini merupakan Negara yang penuh dengan barang rongsokan, alias barang bekas.
Ini terbukti di berbagai aspek teknologi yang ada di
Indonesia. Salah satu contohnya adalah KRL Commuter
Line yang ada di daerah Jabodetabek saat ini. Bagi yang tidak berdomisili dan
tinggal di sana, mungkin belum pernah merasakan transportasi umum ini. Tapi
sekedar informasi saja, KRL yang kini begitu vital bagi warga Jakarta dan
sekitarnya ini memang di-import dari
Jepang.
Impor yang dimaksud di sini tidak serta merta Jepang memproduksi
gerbong-gerbong baru untuk selanjutnya dibeli oleh Indonesia. Tidak, tidak
seperti itu. Keuangan Indonesia tidak mampu membeli yang baru. Sehingga, subway yang sudah tidak layak pakai di
Jepang akan diekspor ke Indonesia.
Anif Punto bahkan tidak tanggung-tanggung menyebut bahwa
Indonesia adalah Negara yang rela membeli barang yang sudah dianggap sampah. Apakah pemerintah membeli
gerbong-gerbong subway tersebut karena
Indonesia tidak bisa memproduksi kereta sendiri? Tentu saja tidak.
Dalam situs online
Rakyat Merdeka dilansir bahwa Indonesia memiliki PT Inka yang sebenarnya mampu
memproduksi gerbong kereta sendiri. Namun, dengan dalih bahwa harga impor
gerbong bekas lebih murah dan bisa tersedia lebih cepat, maka PT KAI lebih
memilih untuk impor daripada menggunakan produksi dalam negeri.
Lagipula jika para pembaca sekalian sudah menonton film
“Habibie dan Ainur”, pasti tidak lupa pada adegan Bapak BJ Habibie yang
mempresentasikan gerbong kereta yang sangat kuat. Saking kuatnya, gerbong
tersebut tidak hancur ketika dihimpit dengan tekanan sampai 200 ton. Bukankah
itu seharusnya bisa jadi kebanggaan yang sama layaknya Shinkansen di Jepang?
Entah siapa yang patut disalahkan. Setidaknya rakyat Indonesia, khususnya warga ibukota sekarang sudah sangat merasakan manfaat dari gerbong bekas subway ini. Pemerintah Jepang sendiri pun turut beruntung bisa membuang sampah pada tempatnya, masih dapat duit pula. Jadi, mari kita berpikir bijak, karena dalam hal ini dua-duanya sama dapat untung. Bak simbiosis mutualisme. Walaupun pada kenyataannya hal ini membuat ngilu di hati.
Dan saat saya bersama teman-teman peserta Jenesys lainnya
diberi kesempatan untuk menjadi penumpang Shinkanshen, seketika itu pula saya
berpikir apakah mungkin suatu saat kereta super cepat kebanggaan Jepang itu juga akan dibuang ke Indonesia?
Tanya siapa??? Hehehe…
Komentar
Posting Komentar