"Orang-orang pemberani yang berbekal rasa takut, itulah bentuk kehati-hatian. Sedangkan orang yang sebenarnya penakut tapi berbekal keberanian itulah yang dinamakan nekad.
...
Kepada si pemberani, ketakutan mengajarkan bahwa keberanian yang cuma berujung bahaya, adalah ketololan," Prie GS.
Santailah kawan. Santai yang bukan untuk berleha-leha. Baik pencapaian maupun proses memang tidak harus selalu merujuk pada yang orang lain mau.
Selo awake, bukan berarti selo pikire. Jangan yang kamu kira tidak berleha-leha fisiknya menandakan bahwa otak dan hatinya juga tidak bekerja.
Bukan berarti mereka yang tidak langsung kuliah S2 kualitas ilmunya hanya segitu-segitu saja. Jangan karena dia lulusan S2 dan kemudian jadi ibu rumah tangga lalu kau anggap percuma kuliah. Bukan karena si X atau si Y dengan IPK tinggi lalu jadi pedagang, atau sekedar baca buku dan menulis di rumah lalu kau anggap ijazah dan ilmunya selama kuliah itu sia-sia.
Oh, come on guys. Pikniklah sedikit supaya pemikiranmu tidak secupet itu.
Kuliah S2 kalau cuma kau kejar untuk memperpanjang gelar namamu lah yang lebih pantas kusebut percuma.
Kuliah S2 dan cari beasiswa kalau hanya untuk jalan-jalan gratis keluar negeri, juga buat apa sih, bro? Uang rakyat itu, bro. Pulang ke Indonesia udah siap kontribusi atau masih mau sibuk materi buat diri sendiri? Korupsi terselubung lho itu.
Kuliah S2 di luar negeri kalau cuma buat eksistensi, kok ya ABG banget
Tidakkah jika niat seseorang sudah begitu, maka dia seolah sudah menzalimi mereka yang hanya untuk bisa lulus S1 saja harus berjuang keras dan menangis darah? Atau bahkan bisa menginjakkan bangku kuliah saja harus banting tulang sana sini cari uang.
Kuliah dipergunakan oleh mereka karena memang ingin menambah khasanah ilmu dalam diri mereka. Dan jelas, ada niat muliah dalam diri mereka agar kelak ilmu yang mereka dapat bisa bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga banyak orang.
Bermanfaat di sini tidak harus selalu diukur dari manfaat materi, eksistensi, dan jabatan yang tinggi. Tapi kearifan diri, kebijaksanaan dalam bersikap, dan kesediaan diri untuk berkontribusi adalah hakikat manfaat yang sesungguhnya.
Dari Hadits Riwayat Bukhari & Muslim yang merupakan Asbabun Nuzul nya Q.S. Al Araf: 57-58 juga dijelaskan kalau perumpamaan Allah dalam mengutus manusia dengan ilmu itu dibagi jadi 3, yaitu:
1. seperti hujan deras yang menerpa tanah, lalu tanah tersebut menyerap airnya sampai bisa menumbuhkan rerumputan.
2. seperti hujan deras yang mengalir di tanah kering hingga air tersebut diambil manfaatnya untuk manusia untuk kebutuhan hidup, dan
3. seperti hujan yang menyirami tanah berpasir yang tidak bisa menadahi air dan tidak pula menumbuhkan rumput.
Analogi yang pertama maksudnya adalah ilmu yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Yang kedua adalah pengandaian ilmu yang disampaikan sehingga bisa bermanfaat kepada banyak orang. Dan yang terakhir adalah ilmu yang tidak bisa diterapkan juga tidak bisa bermanfaat untuk banyak orang. Benar-benar merugi, bukan?
Kuliah dipergunakan oleh mereka karena memang ingin menambah khasanah ilmu dalam diri mereka. Dan jelas, ada niat muliah dalam diri mereka agar kelak ilmu yang mereka dapat bisa bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga banyak orang.
Bermanfaat di sini tidak harus selalu diukur dari manfaat materi, eksistensi, dan jabatan yang tinggi. Tapi kearifan diri, kebijaksanaan dalam bersikap, dan kesediaan diri untuk berkontribusi adalah hakikat manfaat yang sesungguhnya.
Dari Hadits Riwayat Bukhari & Muslim yang merupakan Asbabun Nuzul nya Q.S. Al Araf: 57-58 juga dijelaskan kalau perumpamaan Allah dalam mengutus manusia dengan ilmu itu dibagi jadi 3, yaitu:
1. seperti hujan deras yang menerpa tanah, lalu tanah tersebut menyerap airnya sampai bisa menumbuhkan rerumputan.
2. seperti hujan deras yang mengalir di tanah kering hingga air tersebut diambil manfaatnya untuk manusia untuk kebutuhan hidup, dan
3. seperti hujan yang menyirami tanah berpasir yang tidak bisa menadahi air dan tidak pula menumbuhkan rumput.
Analogi yang pertama maksudnya adalah ilmu yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Yang kedua adalah pengandaian ilmu yang disampaikan sehingga bisa bermanfaat kepada banyak orang. Dan yang terakhir adalah ilmu yang tidak bisa diterapkan juga tidak bisa bermanfaat untuk banyak orang. Benar-benar merugi, bukan?
Jadi sekarang... coba deh, hargai prinsip mereka yang mencoba santai dan legowo dalam mengambil keputusan. Orang yang semeleh bukan berarti dia kebanyakan leyeh-leyeh. Mungkin mereka sedang ikhtiar meluruskan niat. Pendidikan tinggi bukan sekedar trend. Kuliah S2 bukan sekedar kelanjutan jenjang pendidikan yang sama dengan SMP ke SMA. Ini soal prinsip, kelanjutan hidup yang berlangsung lebih lama.
Hati-hatilah dalam mengambil keputusan, jangan nekad.
Mari kita sama-sama mencoba ngrumat niat dan ngrumat semangat.
Semoga niat kita selalu dituntun ke arah yang baik, supaya prosesnya dimudahkan, dan hasilnya juga selalu dianugerahi kebaikan.
Gentan, 27 Maret 2016
Setuju sama tulisanmu mutia. Aku pengen banget s2 beasiswa. Tapi seringkali aku takut kalau habis masa itu aku jadi ibu rumah tangga dan nggak mengabdi pada rakyat walau sebenernya bisa juga tetep mengabdi dengan cara yang mungkin berbeda. Tapi wajar kan ya manusia suka banyak mikir hehe
BalasHapus