Setelah
sekian lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis lagi dalam rangka
murni berbagi. Ya, tulisan ini murni saya buat untuk curhat. Dengannya saya
sudah cukup siap untuk dicacat sekaligus dihujat. Sebab saya tahu betul, butuh
waktu lama bagi saya untuk kembali mengumpulkan tekad menulis dari hati seperti
dulu lagi. Yang tak berbumbu teori yang ndakik-ndakik,
yang katanya tulisan curhat itu nilainya picisan, tapi justru melegakan, meskipun juga memalukan.
Cukup
sudah intronya. Langsung saja, saya ingin menulis kegalauan saya tentang
pernikahan.
Baiklah, saya awali dari sini:
Kalau kalian semua tahu, mungkin juga menebak, saya mengalami perubahan
penampilan sejak tahun 2014 silam. Wacana agama memang melingkupi kehidupan
saya sejak ibu saya mangkat. Saya menemukan ketenangan di sana, dan akhirnya
saya memutuskan untuk berislam secara totalitas dan tidak lagi
setengah-setengah.
Kalian
boleh bilang hal itu adalah sebuah eskapisme sesaat. Muthia dengan ‘hijrah’-nya
saat itu bisa dituduh sebagai proses pelarian diri dari permasalahan, duka yang
mendalam, dan kesepian setelah ditinggal mantan kekasih dan ibunya secara
bersamaan. Saya juga tidak bersikap defensif apabila ada yang berkata demikian
secara langsung. Sebab setengahnya saya tidak berkelit bahwa bercumbu dengan
Gusti Allah dalam ibadah membuat saya tidak benar-benar mati. Secara saya tidak
punya cukup modal untuk melakukan eskapisme melalui alkohol, narkoba, dan dunia
gemerlap lainnya. Saya syukuri itu. Hingga akhirnya hasrat saya pada agama
mempengaruhi pula cara saya memberi makna pada relasi dengan lawan jenis. Saya
memutuskan untuk tidak mau lagi berpacaran dan kelak hanya akan membuka hati
untuk jenjang pernikahan.
Keputusan
saya ternyata tidak sepenuhnya keliru. Dengan ketiadaan hasrat saya untuk
berkomitmen dalam ikatan pacaran, membuat saya bisa cukup fokus untuk
menyelesaikan studi dan membangun karir sebagai pengajar sekaligus penulis
muda. Bahkan sebelum selesai sarjana, puji syukur, saya ditakdirkan meraih
beberapa prestasi yang menyenangkan hati tidak hanya untuk saya tetapi juga
kakak-kakak dan ayah saya. Implikasinya, saya jadi semakin cinta pada Tuhan dan
kian giat dalam beribadah.
Sampai
akhirnya saya mencukupkan diri saya pada ambisi-ambisi duniawi dan memilih untuk
ikhtiar menikah. Oh ya, sebelumnya saya minta maaf… ketidakinginan saya untuk
berpacaran setelah “hijrah” juga
akibat dari hegemoni kisah Ali-Fatimah dengan cinta dalam diamnya. Yup, sejak
saya berhijrah, jujur saya bertemu dengan seorang laki-laki yang secara personality dan performance memiliki skor 8.5 dari 10 dari kriteria saya. Nyaris sempurna.
Kalian bisa
bayangkan betapa berhasratnya diri ini pada lelaki itu? Sudah serupa fangirling yang mendoakan lelaki yang
diidamkannya dalam diam sambil berharap supaya entah besok kapan bisa berjodoh
dan saling menyempurnakan separuh agama masing-masing. Fantasi yang indah nan syar’i bukan?
Teman-teman
terdekat saya yang tahu atas kisah ini, dan membaca bagian tulisan ini pasti
akan tertawa geli sambil berkata “bodoh” sambil menatap layar. Hehehe saya
sendiri juga geli bisa bertahan 3 tahun lamanya memendam rasa dan hanya
berikhtiar lewat doa. Padahal ya mana bisa?
Tapi setidaknya, sekarang saya
tidak perlu merasa rugi dan merasa kehilangan atas apa pun. Dia dan saya tetap baik-baik
saja, (ya iyalah, berinteraksi saja cuma
tiga kali, masa iya mendadak jadi musuhan) jadi ya saya bisa segera
menyelesaikan perasaan saya terhadap lelaki tersebut dengan keadaan
sebaik-baiknya. Pun sampai sekarang saya tetap mendoakan dia yang terbaik,
murni sebagai saudara seiman yang memang pantas untuk didoakan. Terima kasih,
ya, kamu… hahaha
Dan
asal kalian tahu saja. Kehadiran lelaki itu memudahkan saya untuk melakukan
benteng ketika ada lelaki lain yang mendekat. Apa lagi kalau mendekatnya hanya
untuk memberi harapan tanpa niat berkelanjutan. Malesin kan?
Asal
para pembaca budiman ketahui saja, ketika saya secara penampilan sudah terlihat
berhijrah, yang saya alami justru bukan lelaki yang pada jaga diri untuk
berjarak. Tapi malah semakin fetis! Makanya, si doi itu udah kayak patokan
harga awal yang nggak bisa dinego dengan lelaki yang kualitasnya di bawah doi.
Hahaha najis banget ya gue?
Padahal doi kagak pernah pacaran, coy… Hanif
(lurus) nan istiqomah parah… Lah apalah daku yang pernah jahiliyah? Ya bukan
terus aku minder sih, tapi lebih ke proses bargaining
power yang kayaknya agak gimana gitu. Kadang geli juga kalau ingat-ingat
itu lagi.
That’s
why setiap ada lelaki yang mendekat, langsung saya tanting, “Aku tahu kamu deketin aku bukan cuma buat temenan. Kalau
memang aku salah, tolong jangan perlakukan aku berlebihan dan berharap lebih
pula atas itu. Tapi kalau memang aku bener, aku tegesin di awal kalau aku nggak
mau dan nggak bisa pacaran.”
Dari
senjata perkataan tersebut, satu per satu tumbang. Mungkin mereka memang belum
siap untuk berkomitmen sejauh itu. Ya, maafkan saja… saya memang sering dibilang penuaan dini.
Pernyataan sikap itu sudah saya lakukan di usia 23 tahun. Laki-laki umur segitu
mah kebanyakan masih seneng sendiri. Bukan maksud menggeneralisir sih, tapi
faktanya memang begitu dan saya buktikan sendiri. Dan itu hak mereka juga sih…
secara kan juga mereka butuh kesiapan finansial dan mental. Belum lagi kalau
mereka tulang punggung keluarga. Makanya, sekarang kalau saya mengamati fenomena
nikah muda, bukan baper yang dirasa, tapi lebih ke… hmm… ya udah sih… jadwal
nikah tiap orang kan beda-beda.
Oke
lanjut ya.
Sampai
akhirnya Maret 2017 lalu, standar saya belum turun hingga dipertemukan dengan
seseorang melalui perantara sahabat dekat saya. Perkenalan tidak terjadi layaknya
taaruf melalui murobbi. Jadi jangan berfantasi tentang perkenalan melalui CV yang terlembaga. No, it's not that kind of stuffs.
Pada
pertemuan pertama, saya bersikap biasa saja. Sungguh, iya beneran. Nggak baper
nggak flirting atau apa. Serius!
Yee…
nggak percaya?
Cuma
ya gitu, nggak tahu kenapa pulang-pulang habis dikenalin sama orang ini saya
jadi nggak doyan makan 3 hari dan bobot saya turun sampai 3-4 kilo. Kan gila
ya? Kayak bayi kena sawan nggak sih? Untung nggak pake rewel tiap malem.
Gitu
saya masih kekeuh lho untuk memegang teguh pada standar saya sebelumnya. Hingga
pada suatu kesempatan, saya mengeluarkan senjata andalan saya berharap dia juga
akan mundur dan saya bisa kembali bersemedi pada cinta dalam diam saya yang
picisan itu.
Dan
yak! Bisa Anda tebak… ternyata orang ini menyanggupi, sodara-sodara.
Makin
gila kan?
Selanjutnya
gimana dong? Tunggu bagian keduanya ya…
Komentar
Posting Komentar