Langsung ke konten utama

Pernikahan dan Perjalanan Pemikiran Tak Berkesudahan (1)


Setelah sekian lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis lagi dalam rangka murni berbagi. Ya, tulisan ini murni saya buat untuk curhat. Dengannya saya sudah cukup siap untuk dicacat sekaligus dihujat. Sebab saya tahu betul, butuh waktu lama bagi saya untuk kembali mengumpulkan tekad menulis dari hati seperti dulu lagi. Yang tak berbumbu teori yang ndakik-ndakik, yang katanya tulisan curhat itu nilainya picisan, tapi justru melegakan, meskipun juga memalukan.

Cukup sudah intronya. Langsung saja, saya ingin menulis kegalauan saya tentang pernikahan.

Baiklah, saya awali dari sini: 
Kalau kalian semua tahu, mungkin juga menebak, saya mengalami perubahan penampilan sejak tahun 2014 silam. Wacana agama memang melingkupi kehidupan saya sejak ibu saya mangkat. Saya menemukan ketenangan di sana, dan akhirnya saya memutuskan untuk berislam secara totalitas dan tidak lagi setengah-setengah.

Kalian boleh bilang hal itu adalah sebuah eskapisme sesaat. Muthia dengan ‘hijrah’-nya saat itu bisa dituduh sebagai proses pelarian diri dari permasalahan, duka yang mendalam, dan kesepian setelah ditinggal mantan kekasih dan ibunya secara bersamaan. Saya juga tidak bersikap defensif apabila ada yang berkata demikian secara langsung. Sebab setengahnya saya tidak berkelit bahwa bercumbu dengan Gusti Allah dalam ibadah membuat saya tidak benar-benar mati. Secara saya tidak punya cukup modal untuk melakukan eskapisme melalui alkohol, narkoba, dan dunia gemerlap lainnya. Saya syukuri itu. Hingga akhirnya hasrat saya pada agama mempengaruhi pula cara saya memberi makna pada relasi dengan lawan jenis. Saya memutuskan untuk tidak mau lagi berpacaran dan kelak hanya akan membuka hati untuk jenjang pernikahan.

Keputusan saya ternyata tidak sepenuhnya keliru. Dengan ketiadaan hasrat saya untuk berkomitmen dalam ikatan pacaran, membuat saya bisa cukup fokus untuk menyelesaikan studi dan membangun karir sebagai pengajar sekaligus penulis muda. Bahkan sebelum selesai sarjana, puji syukur, saya ditakdirkan meraih beberapa prestasi yang menyenangkan hati tidak hanya untuk saya tetapi juga kakak-kakak dan ayah saya. Implikasinya, saya jadi semakin cinta pada Tuhan dan kian giat dalam beribadah.

Sampai akhirnya saya mencukupkan diri saya pada ambisi-ambisi duniawi dan memilih untuk ikhtiar menikah. Oh ya, sebelumnya saya minta maaf… ketidakinginan saya untuk berpacaran setelah “hijrah” juga akibat dari hegemoni kisah Ali-Fatimah dengan cinta dalam diamnya. Yup, sejak saya berhijrah, jujur saya bertemu dengan seorang laki-laki yang secara personality dan performance memiliki skor 8.5 dari 10 dari kriteria saya. Nyaris sempurna. 

Kalian bisa bayangkan betapa berhasratnya diri ini pada lelaki itu? Sudah serupa fangirling yang mendoakan lelaki yang diidamkannya dalam diam sambil berharap supaya entah besok kapan bisa berjodoh dan saling menyempurnakan separuh agama masing-masing. Fantasi yang indah nan syar’i bukan?

Teman-teman terdekat saya yang tahu atas kisah ini, dan membaca bagian tulisan ini pasti akan tertawa geli sambil berkata “bodoh” sambil menatap layar. Hehehe saya sendiri juga geli bisa bertahan 3 tahun lamanya memendam rasa dan hanya berikhtiar lewat doa. Padahal ya mana bisa? 

Tapi setidaknya, sekarang saya tidak perlu merasa rugi dan merasa kehilangan atas apa pun. Dia dan saya tetap baik-baik saja, (ya iyalah, berinteraksi saja cuma tiga kali, masa iya mendadak jadi musuhan) jadi ya saya bisa segera menyelesaikan perasaan saya terhadap lelaki tersebut dengan keadaan sebaik-baiknya. Pun sampai sekarang saya tetap mendoakan dia yang terbaik, murni sebagai saudara seiman yang memang pantas untuk didoakan. Terima kasih, ya, kamu… hahaha

Dan asal kalian tahu saja. Kehadiran lelaki itu memudahkan saya untuk melakukan benteng ketika ada lelaki lain yang mendekat. Apa lagi kalau mendekatnya hanya untuk memberi harapan tanpa niat berkelanjutan. Malesin kan?

Asal para pembaca budiman ketahui saja, ketika saya secara penampilan sudah terlihat berhijrah, yang saya alami justru bukan lelaki yang pada jaga diri untuk berjarak. Tapi malah semakin fetis! Makanya, si doi itu udah kayak patokan harga awal yang nggak bisa dinego dengan lelaki yang kualitasnya di bawah doi. 

Hahaha najis banget ya gue? 

Padahal doi kagak pernah pacaran, coy… Hanif (lurus) nan istiqomah parah… Lah apalah daku yang pernah jahiliyah? Ya bukan terus aku minder sih, tapi lebih ke proses bargaining power yang kayaknya agak gimana gitu. Kadang geli juga kalau ingat-ingat itu lagi.

That’s why setiap ada lelaki yang mendekat, langsung saya tanting, “Aku tahu kamu deketin aku bukan cuma buat temenan. Kalau memang aku salah, tolong jangan perlakukan aku berlebihan dan berharap lebih pula atas itu. Tapi kalau memang aku bener, aku tegesin di awal kalau aku nggak mau dan nggak bisa pacaran.”

Dari senjata perkataan tersebut, satu per satu tumbang. Mungkin mereka memang belum siap untuk berkomitmen sejauh itu. Ya, maafkan saja… saya memang sering dibilang penuaan dini. Pernyataan sikap itu sudah saya lakukan di usia 23 tahun. Laki-laki umur segitu mah kebanyakan masih seneng sendiri. Bukan maksud menggeneralisir sih, tapi faktanya memang begitu dan saya buktikan sendiri. Dan itu hak mereka juga sih… secara kan juga mereka butuh kesiapan finansial dan mental. Belum lagi kalau mereka tulang punggung keluarga. Makanya, sekarang kalau saya mengamati fenomena nikah muda, bukan baper yang dirasa, tapi lebih ke… hmm… ya udah sih… jadwal nikah tiap orang kan beda-beda.

Oke lanjut ya.

Sampai akhirnya Maret 2017 lalu, standar saya belum turun hingga dipertemukan dengan seseorang melalui perantara sahabat dekat saya. Perkenalan tidak terjadi layaknya taaruf melalui murobbi. Jadi jangan berfantasi tentang perkenalan melalui CV yang terlembaga. No, it's not that kind of stuffs.

Pada pertemuan pertama, saya bersikap biasa saja. Sungguh, iya beneran. Nggak baper nggak flirting atau apa. Serius! 

Yee… nggak percaya?

Cuma ya gitu, nggak tahu kenapa pulang-pulang habis dikenalin sama orang ini saya jadi nggak doyan makan 3 hari dan bobot saya turun sampai 3-4 kilo. Kan gila ya? Kayak bayi kena sawan nggak sih? Untung nggak pake rewel tiap malem.

Gitu saya masih kekeuh lho untuk memegang teguh pada standar saya sebelumnya. Hingga pada suatu kesempatan, saya mengeluarkan senjata andalan saya berharap dia juga akan mundur dan saya bisa kembali bersemedi pada cinta dalam diam saya yang picisan itu.

Dan yak! Bisa Anda tebak… ternyata orang ini menyanggupi, sodara-sodara.

Makin gila kan?

Selanjutnya gimana dong? Tunggu bagian keduanya ya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Info Harga Sewa Gedung Pernikahan (Venue for Wedding Package) di Semarang

Halo, semuanya... Lokasi Alam Indah Resto - dok. pribadi Jumat ini rasanya saya agak buntu ingin menulis apa. Akhirnya saya membuka sebuah forum pertanyaan di IG Story untuk mencari inspirasi, kira-kira tema apa yang menarik untuk saya ulas di blog pekan ini. Beberapa merekomendasikan untuk menulis hal-hal yang sifatnya personal. Ada juga yang menyarankan saya untuk menulis beberapa tema terkait masalah psikologi (mungkin karena dua buku yang saya tulis isu sentralnya psikologi populer ya hehe). Tapi, akhirnya hati saya kok malah condong menulis ini... Hehehe... Sekalian sharing  saja sih. Saya memang sedang mempersiapkan pernikahan. Pun, untuk urusan perkuliahan, saya kebetulan juga concern  untuk meneliti dunia industri pernikahan. Jadi, ya sekali tepuk bolehlah 3-4 urusan bisa diselesaikan. Mohon doanya ya semoga semuanya lancar dan segala sesuatunya dipermudah. Semoga juga nggak ada yang julid doain yang jelek-jelek.. hihi ups... *istighfar* Jadi di sini, ...

Miyago Pak Joko - Rekomendasi Pecinta Mie Ayam di Semarang

Kalau teman-teman termasuk mie ayam holic kayak saya, nih... saya minggu lalu baru saja jajan ke Mie Ayam Goreng alias Miyago di warung Pak Joko. Lokasinya di daerah Banyumanik. Jadi kalau kalian sering ke daerah Semarang atas, dan sliwar-sliwer mau ke arah tol dan lewat Jalan Durian, coba deh mampir ke sini. sumber: dokumentasi pribadi Tidak seperti mie ayam kebanyakan yang disajikan dengan kuah, mie ayam ini hadir tanpa kuah sama sekal. (Ya iyalah ya... namanya juga mie ayam goreng. hehehe). Eh, tapi di sini juga menyediakan mie ayam yang kuah kok. Cuma... ya... menurutku mie ayam kuahnya kurang begitu enak. Kayak kurang asin gitu, hambar, kalo orang Semarang bilang anyep. Jadi, kalau kalian mampir ke sini, saran saya sih pesan miyago-nya saja. Rasanya kayak gimana sih? Jadi, main taste  dari miyago ini lebih ke gurih. Tidak dominan manis kecap seperti bakmie jawa yang beredar tiap malam di depan rumah. Sama seperti makan mie instan, tapi lebih gurih. Saya pikir awa...

Resensi Novel "Heart Emergency"

Judul Buku : Heart Emergency Penulis : Falla Adinda Penerbit : Bukune Sesuai sub judul dari novel ini yang bertuliskan "pahit manis cinta dokter muda" dan berbasis "Personal Literature", novel ini mengisahkan seorang Falla yang saat itu masih menjadi ko-ass di sebuah Rumah Sakit yang letaknya jauh dari tempat tinggalnya, memaksa ia untuk menjalani Long Distance Relationship dengan pacarnya saat itu yang bernama Reza tapi biasa dijuluki dengan sebutan Bul. Falla dan Reza telah menjalin hubungan selama 5 tahun. Namun seiring berjalannya waktu, kesibukan dan beban Falla sebagai ko-ass membuat Reza tidak bisa menerima keluh kesah dari kekasihnya tersebut hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan kisah cinta mereka yang telah berjalan selama 5 tahun. Sejak saat itu pula Falla menjadi malas dan tidak percaya bahwa Long Distance Relationship itu dapat bertahan lama. Namun keteguhan hati Falla akhirnya luluh saat bertemu Yama. Laki-laki yang ...