Dengan mengantongi jawaban "iya" dari beliau-beliau, akhirnya saya sampaikan ke mas tersebut. Saya bilang terus terang kalau saya sudah ikut sebuah lingkaran pengajian. Itu artinya, yang hendak menikah dengan saya juga harus "meminta izin" pada guru ngaji saya, bahkan sebelum menghadap orang tua saya. Sehingga, saya utarakan terus terang, "Mas kalau memang mau serius sama aku, silakan ketemu beliau dulu. Kalau beliau kasih izin mas untuk berproses denganku, maka insya Allah aku siap. Kalau nggak, maka untuk selanjutnya hubungan kita hanya bisa diteruskan sebagai teman biasa," lugas, meski tetap menggunakan bahasa kiasan, aku mencoba untuk tidak berbelit.
Ia merespon perkataan tersebut dengan nafas panjang. Terbaca betul gestur tubuhnya bahwa ia merasa cukup ribet untuk mendekati saya. Saat itu saya sudah berekspektasi bahwa ia akan menyerah. Dan lagi-lagi saya gagal dalam membuat terkaan.
"Oke, insya Allah aku akan segera temui beliau."
Ya sudah. Mau apa lagi? Langkah sudah diambil. Saya pun berusaha untuk tidak berdalih apa-apa. Mungkin takdir Tuhan harus menggariskan saya berjodoh dengan dia.
Akhirnya, mereka diberi kesempatan untuk bertemu, satu-dua kali untuk berdiskusi. Pada pertemuan ketiga (kalau saya tidak salah), syarat utama baginya untuk menikahi saya sudah resmi ia dapatkan. Hingga selanjutnya saya mendapat kabar bahwa ia juga menjadi rajin ikut halaqah bersama jamaah putra lainnya. Senang sekali mendengar kabar tersebut. Meskipun di banyak hal saya masih melihat cela dalam dirinya. Banyak, banyak sekali. Dari hal-hal yang bersifat praktis sampai ke tataran ideologis yang juga pandangan politik. Seperti gaya hidupnya yang saya ketahui masih gemar berkegiatan hingga larut malam, jarang tahajjud, dan gemar sekali tidur pagi.
Ya mau bagaimana lagi, dunianya sebagai seorang musisi, tentu saja jauh sekali jika dibandingkan dengan lelaki yang saya kagumi dalam diam sebelumnya. Ia jarang sekali olahraga. Tak bisa berenang. Juga tak berani (untuk tak mengatakan 'tak bisa') menyetir mobil. Saya tidak menuntut ia untuk harus punya mobil saat ini. Tetapi bagi saya, laki-laki sudah harga mati untuk punya kemampuan menyetir mobil. Sungguh... bagi saya saat itu, kalau bukan karena ridho dari guru ngaji yang saya hormati luar biasa, sangat enggan bagi seorang Muthia untuk bersuami seperti dia.
Titik Balik Pandangan Seorang Muthia
Suatu ketika saya diajaknya untuk dikenalkan dengan kedua orangtuanya, terutama ibunya. Jangan bertanya dalam hati saya ke sana naik apa. Jelas dengan motor dan beboncengan dengannya. Akhi wa ukhti fillah boleh kaget sekaligus kecewa membaca bagian ini. Saya sendiri juga merasa kecewa atas diri saya sendiri yang tidak bisa menolak ajakannya untuk pergi kemana-mana berdua dengan berboncengan. Tapi mau bagaimana lagi? Ilmu dan iman tidak bisa dikarbit. Sulit pastinya untuk dia memahami kenapa aku harus tidak mau dibonceng berdua dengannya. Karena pada kenyataannya saya masih sering juga kemana-mana menggunakan ojek online, yang jelas-jelas bukan mahrom. Padahal kalau saya teguh, sebenarnya bisa saja saya menolak. Mungkin... saat itu saya sudah mulai ada perasaan dengannya.
Kalau sudah begitu, saya akhirnya tak jarang mempertanyakan keadaan... mengapa saya harus digariskan berproses dengan lelaki seperti dia. Mengapa saya tak langsung dijodohkan saja dengan yang sudah shalih dan justru mampu mengajak saya semakin shalihah. Sedih sekali rasanya...
Pada tahap ini, saya tahu persis keimanan saya semakin mengalami kemunduran.
Tapi ya sudah, lupakan... Saya ingin fokus bercerita saat sampai di rumahnya. Ketika ia bertemu dengan ibunya, dan memperkenalkan saya sebagai calon istrinya. Saya perhatikan betul bahasa tubuh dan interaksi yang terjalin di antara mereka berdua. Begitu dekat, begitu akrab. Persis seperti bagaimana cara kakak-kakak lelaki saya yang juga begitu dekat dengan alm. ibu saya.
Dulu, saya pernah bergumam dalam hati, "Semoga besok saya bisa dapat suami, minimal, yang sama baiknya seperti kakak-kakak lelaki saya."
Mengapa demikian? Sebab meski salah satu dari ketiga kakak lelaki saya harus bercerai, tapi saya tahu betul ketiganya merupakan laki-laki yang bertanggung jawab pada istri. Saya jadi saksi bagaimana kakak-kakak saya begitu agungnya dalam memperlakukan istri. Dan saya juga beberapa kali telah menjadi telinga atas pengakuan dua kakak ipar saya bahwa mereka bersyukur betul bisa berjodoh dengan kakak-kakak saya.
Dari fenomena tersebut, saya tarik kesimpulan bahwa ibu saya lah yang berhasil mendidik seluruh anak laki-lakinya bisa menjadi seperti itu. Saya juga melakukan pengamatan secara kasar, bahwa lelaki yang bisa memperlakukan ibunya dengan baik, maka ia juga kelak akan baik memperlakukan wanita, termasuk istrinya.
Ketika melihat si mas tak sungkan mencium dan dicium ibunya di hadapan saya, hati saya ngilu akan rasa bahagia. Bahagia saya semakin bertambah ketika binar mata ibunya melihat saya dengan raut wajah yang hangat dengan tangan terbuka.
Dari situ, seketika segala kekurangan si mas mendadak tersapu debu. Apakah saat itu saya sudah mulai ada hati dengannya?
Tunggu tulisan selanjutnya
Komentar
Posting Komentar