Sehari, dua hari, tiga hari sejak pengumuman yang dikabarkan oleh Susi, Astrid menjadi uring-uringan sendiri. Ia butuh motivasi. Ia gelisah. Ia bingung harus bagaimana.
Air wudhu sudah ia ambil, solat, berdoa, menangis sejadi-jadinya, tak juga memunculkan suatu ketenangan yang berarti. Di saat-saat seperti itulah Astrid butuh sosok Bundanya. Dulu ia bisa saja meneleponnya setiap saat. Dengan mendengar suara Bunda, Astrid sudah merasa tenang bahkan jika diomeli sekali pun.
"Kamu ini terpilih pasti sudah karena pertimbangan sendiri. Yang lain kepengen kayak kamu, kamunya yang udah dapet kesempatan kok malah kayak gini," begitulah cara Ibunya dulu mengomeli Astrid ketika ia mengalami situasi pra-competition syndrome seperti saat ini.
"Iya, Bunda... tapi adek males kalo dipaido terus. Udah bikin karya tulis susah-susah kok masih disusahin lagi. Dipikir aku fokusnya cuma ke situ apa?" jawab Astrid yang dulu begitu hobi untuk ngeyel jika dinasehati ibunya.
"Namanya juga mau hasil yang terbaik, ya harus mau dikritik. Mentalmu jangan kayak sambel tumpangnya Bunda gitu deh,"
"Apaan Bunda? Sambel tumpang?" tanya Astrid sedikit bingung
"Iya, sambel tumpang, dibuat dari apa?"
"Tempe bosok?"
"Nah kui mudeng. Tempe bosok aja dibikin masakan masih enak. Masa iya kamu kalah sama tempe bosok-nya Bunda?" Seketika Astrid tertawa. Ia dulu dia pernah sebahagia itu.
Astrid mencoba mencari celah untuk tidak terlalu terlihat depresi. Tapi ternyata raut mukanya sudah terbaca oleh teman dekatnya sekaligus ketua HMJ-nya, Rino.
"Gimana persiapan ke univ?" tanya Rino pada Astrid sore itu seusai rapat.
"Insya Allah malem ini mau revisi KTI. Doain lancar ya... Sainganku sangar-sangar, udah abroad semua rata-rata." jawab Astrid lemas.
"Kamu ini kebiasaan,"
"Kebiasaan gimana maksudnya?"
"Ya begitu itu. Nggak pernah merasa dirinya spesial," jawab Rino santai.
"Eeh gilak... kalo aku punya pemikiran kayak begitu ntar jadi sombong, malah nggak realisits,"
"Nah itu tuh... itu... yang bikin aku kadang gemes sama kamu. Kelewat mengotak-kotakkan diri. Yasudah, menikahlah dengan kerealistisanmu," masih dengan nada yang santai.
-----------jeger---------
Seperti ada petir yang menyambar di kepala Astrid. Rino terus nyeloteh dengan santainya.
"Mau sampai kapan mentalmu tempe begini? Tunjukin ke semuanya kalo kamu mampu dengan caramu sendiri. Kamu spesial dengan gayamu sendiri, mereka juga begitu." Lagi-lagi si Astrid mendapat kata tempe. Dia jadi berpikir lama apakah dia memang se-tempe itu selama ini?
Dia merenung panjang. Dia selama ini memang berpotensi, tapi memang dia sendirilah yang membuat batasan diri. Akibatnya ia sering tidak berkembang karena pola pikirnya sendiri. Kata-kata Rino membuatnya tertampar.
"Gimana? Feeling something 'jeger'?"
"Of, course... Makasi ya, Rin. You inspire me... thanks anyway."
Air wudhu sudah ia ambil, solat, berdoa, menangis sejadi-jadinya, tak juga memunculkan suatu ketenangan yang berarti. Di saat-saat seperti itulah Astrid butuh sosok Bundanya. Dulu ia bisa saja meneleponnya setiap saat. Dengan mendengar suara Bunda, Astrid sudah merasa tenang bahkan jika diomeli sekali pun.
"Kamu ini terpilih pasti sudah karena pertimbangan sendiri. Yang lain kepengen kayak kamu, kamunya yang udah dapet kesempatan kok malah kayak gini," begitulah cara Ibunya dulu mengomeli Astrid ketika ia mengalami situasi pra-competition syndrome seperti saat ini.
"Iya, Bunda... tapi adek males kalo dipaido terus. Udah bikin karya tulis susah-susah kok masih disusahin lagi. Dipikir aku fokusnya cuma ke situ apa?" jawab Astrid yang dulu begitu hobi untuk ngeyel jika dinasehati ibunya.
"Namanya juga mau hasil yang terbaik, ya harus mau dikritik. Mentalmu jangan kayak sambel tumpangnya Bunda gitu deh,"
"Apaan Bunda? Sambel tumpang?" tanya Astrid sedikit bingung
"Iya, sambel tumpang, dibuat dari apa?"
"Tempe bosok?"
"Nah kui mudeng. Tempe bosok aja dibikin masakan masih enak. Masa iya kamu kalah sama tempe bosok-nya Bunda?" Seketika Astrid tertawa. Ia dulu dia pernah sebahagia itu.
Astrid mencoba mencari celah untuk tidak terlalu terlihat depresi. Tapi ternyata raut mukanya sudah terbaca oleh teman dekatnya sekaligus ketua HMJ-nya, Rino.
"Gimana persiapan ke univ?" tanya Rino pada Astrid sore itu seusai rapat.
"Insya Allah malem ini mau revisi KTI. Doain lancar ya... Sainganku sangar-sangar, udah abroad semua rata-rata." jawab Astrid lemas.
"Kamu ini kebiasaan,"
"Kebiasaan gimana maksudnya?"
"Ya begitu itu. Nggak pernah merasa dirinya spesial," jawab Rino santai.
"Eeh gilak... kalo aku punya pemikiran kayak begitu ntar jadi sombong, malah nggak realisits,"
"Nah itu tuh... itu... yang bikin aku kadang gemes sama kamu. Kelewat mengotak-kotakkan diri. Yasudah, menikahlah dengan kerealistisanmu," masih dengan nada yang santai.
-----------jeger---------
Seperti ada petir yang menyambar di kepala Astrid. Rino terus nyeloteh dengan santainya.
"Mau sampai kapan mentalmu tempe begini? Tunjukin ke semuanya kalo kamu mampu dengan caramu sendiri. Kamu spesial dengan gayamu sendiri, mereka juga begitu." Lagi-lagi si Astrid mendapat kata tempe. Dia jadi berpikir lama apakah dia memang se-tempe itu selama ini?
Dia merenung panjang. Dia selama ini memang berpotensi, tapi memang dia sendirilah yang membuat batasan diri. Akibatnya ia sering tidak berkembang karena pola pikirnya sendiri. Kata-kata Rino membuatnya tertampar.
"Gimana? Feeling something 'jeger'?"
"Of, course... Makasi ya, Rin. You inspire me... thanks anyway."
Komentar
Posting Komentar