Episode kali ini bercerita ketika Astrid menjejaki perjalanannya di Jakarta. Ia yang diundang ke acara pernikahan sepupunya, akhirnya berangkat mewakili keluarganya untuk bersilaturahim sekaligus menjejaki ibukota seorang diri.
"Perasaan baru kemarin kita bobok bareng, curhat semalaman ngomongin masalah cowo, sekarang udah mau married aja ya kamu, Na." kata Astrid kepada Ana yang sudah bersiap diri sambil menunggu tukang rias yang tak kunjung datang.
"Waktu, nggak penah bisa dikira-kira. Kadang berasa lama, tapi banyak juga yang bilang nggak kerasa." jawab Ana sambil tertawa.
Ya, waktu selalu begitu. Waktu terlalu lama untuk bertandang dalam konteks penantian. Namun ia tidak akan terasa lama ketika ia disandingkan pada jebakan rasa nyaman. Astrid tidak tahu pasti, tapi ia tahu bahwa kini ia dan Ana sudah sama-sama dewasa. Hingga akhirnya Ana lebih dulu melangkah daripada Astrid.
"Habis ini mau nginep dimana, Trid?" tanya Ana.
"Nggak nginep kok, Na. Aku udah dapet tiket kereta buat pulang malem ini."
"Cepet amat. Nggak kepengen jalan-jalan dulu di Jakarta?"
"Nanti kan pas ke Gambir juga mampir makan sambil jalan-jalan, hehe."
"Sama siapa?"
"Dijemput suaminya Kak Sandra. Kebetulan dia lagi dines di Jakarta."
Jemputan pun akhirnya tiba. Sesuai perkiraannya, Astrid pasti diajak berjalan-jalan sebentar sekaligus mencari makan malam sebelum berangkat ke stasiun. Sepanjang perjalanan, mas Fery mengajak Astrid berbincang panjang. Pembawaan Fery yang asik dan cerdas membuat Astrid merasa klik untuk ngobrol panjang lebar. Entah tentang kuliah, pekerjaan, atau mungkin rasan-rasan soal Sandra. Hingga akhirnya topik pembicaraan mereka sampai kepada karier dan kehidupan di Jakarta.
"Gimana dek? Masih nggak berminat kerja di ibukota?" tanya Fery pada Astrid yang sedari tadi seperti orang katro saat melihat kemilau wajah Jakarta. Entah sengaja atau tidak, paras Astrid yang biasa terlihat cerdas saat itu memang terlihat natural polosnya. Ia memang terkagum dengan pesona ibukota, tapi kepalanya sudah termaktub tentang sisi busuk kota ini dengan segala informasi yang ia dengar dan ia baca.
"Entah mas. Allahualam. Kayaknya memang enak ya meniti karir di sini, tapi aku nggak yakin bisa kuat sama kejamnya ibukota."
"Nggak semua informasi yang kamu denger soal keburukan Jakarta itu bener kok, dek. Kamu jangan kebanyakan baca 'Jakarta Undercover' deh. Nggak sehat. Hahaha"
"Hahaha, tau aja sih mas aku sempet baca buku itu. Ngeri. Nggak kuat mau baca sampe selesai. Tapi doktrin 'ibukota lebih kejam daripada ibu tiri' masih nancep banget sih di kepalaku."
"Tapi nggak semua ibu tiri kejam kan?" kata Fery yang sedikit menggoda adik iparnya sambil nyengir ke arah Astrid.
"Hehe, ya nanti deh mas, aku pertimbangin lagi sambil berdoa semoga ditempatin di tempat yang terbaik."
"Aamiin. Aku juga ikut doain deh kalo gitu. Nggak ada salahnya kamu bangun karirmu dulu di sini barang waktu 2-3 tahun. Nyenengin diri sendiri nggak ada salahnya kan? Jangan keburu pengen nyusul Ana mulu deh mikirnya,"
"Apaan sih mas. Hahaha." Astrid yang merasa diejek seketika langsung mencubit lengan kakak iparnya itu.
"Hahaha. Keliatan sih muka-muka ngebet kawin."
"Sialan ih mas. Hahaha. Aku bingung aja sih, kalo aku nuruti karir, entar jauh jodoh. Kalo nikah cepet nggak bisa seneng-seneng. Gimana dong? Padahal bayanganku juga masih kedoktrin untuk bisa jadi wanita karir yang independen, tinggal di apartemen, kerja mapan di ibukota, dan... ya... begitu lah mas. Tapi ntar kalo aku beneran begitu, takutnya aku dibilang korban kapitalis atau kaum hedonis. Haduh... susah."
"Kebanyakan baca novel sih kamu. Kebanyakan ikut diskusi mahasiswa juga nih pasti."
"Hehehe yaaa gitu deh..."
"Keliatan sih. Hehe. Dilurusin dulu niatmu. Nggak akan ada jalan yang susah buat orang-orang yang niatnya baik. Kamu boleh kok nikah cepet, asal tahu konsekuensi. Tanggung jawab pasti nambah, jadi nggak mungkin kamu bisa shopping, ke skin care, nonton ke bioskop, baca novel semaumu sendiri. Kamu harus ngurus suami, anak, masak, belum lagi kalo masih ada tanggung jawab kerja. Nggak se-independen yang kamu bayangin kayak di novel atau film gitu. Mereka sih bisa kayak begitu karena emang masih perawan dan masih punya kebebasan tapi ya itu... resikonya kesepian. Mau dibilang kamu korban kapitalis kek, kebawa jadi kaum hedonis kek, asal tau batas dan nggak ngelanggar aturan, apalagi agama, nggak ada salahnya menurutku. Mereka tahu apa sih soal kapitalis dan hedonis. Kamu susah payah cari duit sendiri, nggak ada salahnya dong sesekali menikmati jerih payah dengan caramu sendiri."
"Nah itu mas. Pusing kan? Terus aku kudu gimana dong? Kasih saran kek."
"Ya dibawa santai aja. Omongan orang mah nggak usah dipikir amat. Tiru tuh si Sandra. Dia waktu lulus kuliah bisa langsung keterima di BUMN, bisa bayarin ongkos hajinya ayah bunda, bisa nguliahin kamu, dan bisa nyenengin dirinya sendiri. Banyak yang kepencut sama dia, tapi kebanyakan dari mereka minder dengan keberhasilan karirnya, termasuk aku. Apalagi mbakyumu itu juga tergolong cantik. Jadi yang mau ngelamar kadang maju mundur. Tapi aku sih cuek, kalo udah mantep, bismillah, eh alhamdulillah jodoh. Akhirnya yang ngasih kepastianlah yang bakal menang. Urusan rezeki dan karier semuanya tergantung ikhtiar sama doaku sendiri sama Yang Di Atas."
"Seru ya... Ya udah deh, insya Allah kalau memang harus di Jakarta, Astrid siap. Nggak ada salahnya ngejar cita-cita diri"
"Nah gitu dong. Kalo emang nggak mau di Jakarta ya keluar negeri sekalian. Sandra pasti juga ikut bangga. Cuma pengecut yang ciut sama kekejaman ibu tiri. Dan aku yakin kamu bukan pengecut, Trid."
"Iya mas, insya Allah."
"Perasaan baru kemarin kita bobok bareng, curhat semalaman ngomongin masalah cowo, sekarang udah mau married aja ya kamu, Na." kata Astrid kepada Ana yang sudah bersiap diri sambil menunggu tukang rias yang tak kunjung datang.
"Waktu, nggak penah bisa dikira-kira. Kadang berasa lama, tapi banyak juga yang bilang nggak kerasa." jawab Ana sambil tertawa.
Ya, waktu selalu begitu. Waktu terlalu lama untuk bertandang dalam konteks penantian. Namun ia tidak akan terasa lama ketika ia disandingkan pada jebakan rasa nyaman. Astrid tidak tahu pasti, tapi ia tahu bahwa kini ia dan Ana sudah sama-sama dewasa. Hingga akhirnya Ana lebih dulu melangkah daripada Astrid.
"Habis ini mau nginep dimana, Trid?" tanya Ana.
"Nggak nginep kok, Na. Aku udah dapet tiket kereta buat pulang malem ini."
"Cepet amat. Nggak kepengen jalan-jalan dulu di Jakarta?"
"Nanti kan pas ke Gambir juga mampir makan sambil jalan-jalan, hehe."
"Sama siapa?"
"Dijemput suaminya Kak Sandra. Kebetulan dia lagi dines di Jakarta."
Jemputan pun akhirnya tiba. Sesuai perkiraannya, Astrid pasti diajak berjalan-jalan sebentar sekaligus mencari makan malam sebelum berangkat ke stasiun. Sepanjang perjalanan, mas Fery mengajak Astrid berbincang panjang. Pembawaan Fery yang asik dan cerdas membuat Astrid merasa klik untuk ngobrol panjang lebar. Entah tentang kuliah, pekerjaan, atau mungkin rasan-rasan soal Sandra. Hingga akhirnya topik pembicaraan mereka sampai kepada karier dan kehidupan di Jakarta.
"Gimana dek? Masih nggak berminat kerja di ibukota?" tanya Fery pada Astrid yang sedari tadi seperti orang katro saat melihat kemilau wajah Jakarta. Entah sengaja atau tidak, paras Astrid yang biasa terlihat cerdas saat itu memang terlihat natural polosnya. Ia memang terkagum dengan pesona ibukota, tapi kepalanya sudah termaktub tentang sisi busuk kota ini dengan segala informasi yang ia dengar dan ia baca.
"Entah mas. Allahualam. Kayaknya memang enak ya meniti karir di sini, tapi aku nggak yakin bisa kuat sama kejamnya ibukota."
"Nggak semua informasi yang kamu denger soal keburukan Jakarta itu bener kok, dek. Kamu jangan kebanyakan baca 'Jakarta Undercover' deh. Nggak sehat. Hahaha"
"Hahaha, tau aja sih mas aku sempet baca buku itu. Ngeri. Nggak kuat mau baca sampe selesai. Tapi doktrin 'ibukota lebih kejam daripada ibu tiri' masih nancep banget sih di kepalaku."
"Tapi nggak semua ibu tiri kejam kan?" kata Fery yang sedikit menggoda adik iparnya sambil nyengir ke arah Astrid.
"Hehe, ya nanti deh mas, aku pertimbangin lagi sambil berdoa semoga ditempatin di tempat yang terbaik."
"Aamiin. Aku juga ikut doain deh kalo gitu. Nggak ada salahnya kamu bangun karirmu dulu di sini barang waktu 2-3 tahun. Nyenengin diri sendiri nggak ada salahnya kan? Jangan keburu pengen nyusul Ana mulu deh mikirnya,"
"Apaan sih mas. Hahaha." Astrid yang merasa diejek seketika langsung mencubit lengan kakak iparnya itu.
"Hahaha. Keliatan sih muka-muka ngebet kawin."
"Sialan ih mas. Hahaha. Aku bingung aja sih, kalo aku nuruti karir, entar jauh jodoh. Kalo nikah cepet nggak bisa seneng-seneng. Gimana dong? Padahal bayanganku juga masih kedoktrin untuk bisa jadi wanita karir yang independen, tinggal di apartemen, kerja mapan di ibukota, dan... ya... begitu lah mas. Tapi ntar kalo aku beneran begitu, takutnya aku dibilang korban kapitalis atau kaum hedonis. Haduh... susah."
"Kebanyakan baca novel sih kamu. Kebanyakan ikut diskusi mahasiswa juga nih pasti."
"Hehehe yaaa gitu deh..."
"Keliatan sih. Hehe. Dilurusin dulu niatmu. Nggak akan ada jalan yang susah buat orang-orang yang niatnya baik. Kamu boleh kok nikah cepet, asal tahu konsekuensi. Tanggung jawab pasti nambah, jadi nggak mungkin kamu bisa shopping, ke skin care, nonton ke bioskop, baca novel semaumu sendiri. Kamu harus ngurus suami, anak, masak, belum lagi kalo masih ada tanggung jawab kerja. Nggak se-independen yang kamu bayangin kayak di novel atau film gitu. Mereka sih bisa kayak begitu karena emang masih perawan dan masih punya kebebasan tapi ya itu... resikonya kesepian. Mau dibilang kamu korban kapitalis kek, kebawa jadi kaum hedonis kek, asal tau batas dan nggak ngelanggar aturan, apalagi agama, nggak ada salahnya menurutku. Mereka tahu apa sih soal kapitalis dan hedonis. Kamu susah payah cari duit sendiri, nggak ada salahnya dong sesekali menikmati jerih payah dengan caramu sendiri."
"Nah itu mas. Pusing kan? Terus aku kudu gimana dong? Kasih saran kek."
"Ya dibawa santai aja. Omongan orang mah nggak usah dipikir amat. Tiru tuh si Sandra. Dia waktu lulus kuliah bisa langsung keterima di BUMN, bisa bayarin ongkos hajinya ayah bunda, bisa nguliahin kamu, dan bisa nyenengin dirinya sendiri. Banyak yang kepencut sama dia, tapi kebanyakan dari mereka minder dengan keberhasilan karirnya, termasuk aku. Apalagi mbakyumu itu juga tergolong cantik. Jadi yang mau ngelamar kadang maju mundur. Tapi aku sih cuek, kalo udah mantep, bismillah, eh alhamdulillah jodoh. Akhirnya yang ngasih kepastianlah yang bakal menang. Urusan rezeki dan karier semuanya tergantung ikhtiar sama doaku sendiri sama Yang Di Atas."
"Seru ya... Ya udah deh, insya Allah kalau memang harus di Jakarta, Astrid siap. Nggak ada salahnya ngejar cita-cita diri"
"Nah gitu dong. Kalo emang nggak mau di Jakarta ya keluar negeri sekalian. Sandra pasti juga ikut bangga. Cuma pengecut yang ciut sama kekejaman ibu tiri. Dan aku yakin kamu bukan pengecut, Trid."
"Iya mas, insya Allah."
Komentar
Posting Komentar