Hanung melihat sosok perempuan yang lebih anggun dari sosok yang ia temui dua tahun yang lalu. Pertemuan terakhir yang sebenarnya tidak memberi arah kepastian pada keduanya, entah harus berpisah atau tetap bersama. Yang ia ingat, dua tahun yang lalu, ia telah membuat seorang perempuan yang dulu begitu ia cintai berlinang air mata di hadapannya. Karena ketidaksetiaannya, karena ketidakpastiannya.
"Aku sayang kamu, Hanung." begitu jelas ingatannya ketika Astrid mengiba dan berkata bahwa Astrid begitu mencintainya. Sambil berlinang air mata, Astrid mencoba untuk mengiba, meminta kepastian, menuntut kesetiaan. Kehadiran bidadari lain yang ada di sekitarnya membuat Hanung berhasil menciptakan kecewa di hati perempuan yang dicintainya.
"Aku tahu." hanya itu yang bisa Hanung katakan. Tidak ada kalimat 'Aku pun menyayangimu' atau sejenisnya dari mulut Hanung di pertemuan terakhir itu. Ia merasa di persimpangan jalan. Ia butuh kehadiran, Astrid tidak mampu memberikan, dan Hanung bukanlah manusia yang mampu berdiri dalam belenggu penantian dalam kesendirian. Astrid pun juga sudah merasa cukup untuk memohon. Mereka pun tidak lagi saling berhubungan. Keduanya tidak ada yang berani mengawal pembicaraan apalagi pertemuan, hingga dua tahun lamanya.
Kini ia melihat gadis yang menangis di hadapannya dua tahun yang lalu itu sudah nampak begitu tegar. Ia terlihat semakin anggun dan dewasa. Sosok idaman. Sosok yang tetap menawan.
Hanung mencoba membukakan pintu mobil untuk Astrid. Sambil bercanda Hanung mencoba untuk menggodanya,"Silakan adinda..."
Astrid yang paham sedang digoda pun membalas dengan senyuman, "Terima kasih kakanda..."
"Mau kemana kita?" tanya Hanung dengan nada bicara seperti Dora The Explorer.
"Kan kamu yang ngajak. Kok malah tanya aku?"
"Sengaja. Hari ini aku pengen nurutin kamu."
"Idih. Ya udah jalan dulu aja. Kamu udah makan belum? Kalo belum makan dulu aja,"
"Ide bagus." pedal kopling pun mulai dilepas, mereka berdua memulai perjalanan mereka. Obrolan mereka pun mengalir begitu saja. Tidak ada yang berubah. Hanya saja keduanya menghindari percakapan tentang hubungan mereka di masa lalu dan segala problematikanya. Baik Astrid maupun Hanung sudah merasa nyaman bisa bertemu walaupun mereka sadar bukan perkara yang mudah untuk kembali bersatu.
Pertemuan siang itu Hanung rencanakan bukan tanpa alasan. Kenangan membawanya pulang ke pintu hati Astrid. Namun ia begitu sadar diri, hati Astrid sudah penuh luka yang ia buat sendiri di masa lalu.
Sesampainya di tempat makan, Astrid masih sibuk untuk membenahi jilbabnya. Hanung sudah biasa melihat ritual Astrid sebelum turun dari mobil. Bedanya dulu ia lebih fokus membenahi rambutnya, dan kini ia sibuk untuk membenahi jilbabnya.
"Udah cantik kok, ayo turun... Jangan dandan melulu."
"Hehehe nggakpapa dong. Siapa tahu ada yang ganteng nanti di dalem, kan malu kalo jilbabku berantakan."
"Ya ampun. Emang aku kurang ganteng apa sih?"
"Nggak ada yang kurang dari kamu kok, Nung."
"Lha terus...?"
"Cuma kurang setia aja. hehehe" Astrid mulai mengambil topik candaan yang menjurus. Hanung yang merasa tersindir pun tidak bisa tersinggung. Ia akhirnya tertawa sambil menyadari kesalahannya. Mutiara seindah Astrid sudah ia sia-siakan begitu saja. Seharusnya ia tidak perlu membuat luka. Seharusnya mereka berdua sampai saat ini masih bisa tetap bersama. Seharusnya ia bisa setia. Seharusnya... Tapi senyatanya tak selalu bisa seindah yang seharusnya.
"Kamu mau pesen apa?"
"Susu murni sama roti bakar aja deh."
Astrid pun memesan makanan. Saat Astrid mengacungkan jarinya untuk menunjukkan jumlah pesanan kepada si pembeli, Hanung melihat jari manis Astrid sudah dilingkari cincin emas.
"Astrid, jarimu... Apakah aku terlambat?" kata Hanung dalam hati dengan penuh tanda tanya. Ia meraba sakunya. Hanung pun semakin menyesal dan kembali menelan rasa kecewa.
"Aku sayang kamu, Hanung." begitu jelas ingatannya ketika Astrid mengiba dan berkata bahwa Astrid begitu mencintainya. Sambil berlinang air mata, Astrid mencoba untuk mengiba, meminta kepastian, menuntut kesetiaan. Kehadiran bidadari lain yang ada di sekitarnya membuat Hanung berhasil menciptakan kecewa di hati perempuan yang dicintainya.
"Aku tahu." hanya itu yang bisa Hanung katakan. Tidak ada kalimat 'Aku pun menyayangimu' atau sejenisnya dari mulut Hanung di pertemuan terakhir itu. Ia merasa di persimpangan jalan. Ia butuh kehadiran, Astrid tidak mampu memberikan, dan Hanung bukanlah manusia yang mampu berdiri dalam belenggu penantian dalam kesendirian. Astrid pun juga sudah merasa cukup untuk memohon. Mereka pun tidak lagi saling berhubungan. Keduanya tidak ada yang berani mengawal pembicaraan apalagi pertemuan, hingga dua tahun lamanya.
Kini ia melihat gadis yang menangis di hadapannya dua tahun yang lalu itu sudah nampak begitu tegar. Ia terlihat semakin anggun dan dewasa. Sosok idaman. Sosok yang tetap menawan.
Hanung mencoba membukakan pintu mobil untuk Astrid. Sambil bercanda Hanung mencoba untuk menggodanya,"Silakan adinda..."
Astrid yang paham sedang digoda pun membalas dengan senyuman, "Terima kasih kakanda..."
"Mau kemana kita?" tanya Hanung dengan nada bicara seperti Dora The Explorer.
"Kan kamu yang ngajak. Kok malah tanya aku?"
"Sengaja. Hari ini aku pengen nurutin kamu."
"Idih. Ya udah jalan dulu aja. Kamu udah makan belum? Kalo belum makan dulu aja,"
"Ide bagus." pedal kopling pun mulai dilepas, mereka berdua memulai perjalanan mereka. Obrolan mereka pun mengalir begitu saja. Tidak ada yang berubah. Hanya saja keduanya menghindari percakapan tentang hubungan mereka di masa lalu dan segala problematikanya. Baik Astrid maupun Hanung sudah merasa nyaman bisa bertemu walaupun mereka sadar bukan perkara yang mudah untuk kembali bersatu.
Pertemuan siang itu Hanung rencanakan bukan tanpa alasan. Kenangan membawanya pulang ke pintu hati Astrid. Namun ia begitu sadar diri, hati Astrid sudah penuh luka yang ia buat sendiri di masa lalu.
Sesampainya di tempat makan, Astrid masih sibuk untuk membenahi jilbabnya. Hanung sudah biasa melihat ritual Astrid sebelum turun dari mobil. Bedanya dulu ia lebih fokus membenahi rambutnya, dan kini ia sibuk untuk membenahi jilbabnya.
"Udah cantik kok, ayo turun... Jangan dandan melulu."
"Hehehe nggakpapa dong. Siapa tahu ada yang ganteng nanti di dalem, kan malu kalo jilbabku berantakan."
"Ya ampun. Emang aku kurang ganteng apa sih?"
"Nggak ada yang kurang dari kamu kok, Nung."
"Lha terus...?"
"Cuma kurang setia aja. hehehe" Astrid mulai mengambil topik candaan yang menjurus. Hanung yang merasa tersindir pun tidak bisa tersinggung. Ia akhirnya tertawa sambil menyadari kesalahannya. Mutiara seindah Astrid sudah ia sia-siakan begitu saja. Seharusnya ia tidak perlu membuat luka. Seharusnya mereka berdua sampai saat ini masih bisa tetap bersama. Seharusnya ia bisa setia. Seharusnya... Tapi senyatanya tak selalu bisa seindah yang seharusnya.
"Kamu mau pesen apa?"
"Susu murni sama roti bakar aja deh."
Astrid pun memesan makanan. Saat Astrid mengacungkan jarinya untuk menunjukkan jumlah pesanan kepada si pembeli, Hanung melihat jari manis Astrid sudah dilingkari cincin emas.
"Astrid, jarimu... Apakah aku terlambat?" kata Hanung dalam hati dengan penuh tanda tanya. Ia meraba sakunya. Hanung pun semakin menyesal dan kembali menelan rasa kecewa.
Komentar
Posting Komentar