"Eh... emm, nggakpapa kok... Jadi gini, aku ke Solo karena...." Hanung mencoba untuk menjawab pertanyaan Astrid, tiba-tiba...
"Permisi mas, pesenannya..."
Raut muka serius Hanung seketika menjadi buyar akan distraksi dari mas-mas pemilik warung makan yang sedang mengantar pesanan itu. Astrid yang sudah menerima makanannya seketika langsung mengicipi hidangan yang ada di hadapannya perlahan. Hanung melihatnya sambil tersenyum.
"Kelaperan ya kamu?" kata Hanung sambil menggoda.
"Enggak sih, biasa aja. Buruan ih dilanjutin." kata Astrid mengingatkan Hanung untuk melanjutkan ceritanya. "Ah, sial. Ternyata Astrid memang tidak mudah untuk dialihkan perhatiannya."
"Oh, gini. Aku ke Solo karena ke depannya aku bakal lebih sering lagi ke Solo,"
"Kok gitu? Mau ngapain emang?"
"Aku udah dapet bocoran dari Abah, setelah wisuda S.Ked. nanti, aku mau ditempatin di sini untuk co-ass. Jadi, selama setengah tahun atau bahkan setahun ke depan aku tinggal di sini."
Astrid seperti tidak percaya. Dia akan tinggal satu kota lagi dengan Hanung selama setahun ke depan. Siapa yang menyangka, perpisahan mereka yang dulu disebabkan oleh jarak kini terjawab oleh semesta. Jarak mereka didekatkan. Ini semua di luar dugaan.
"Ah, walaupun dia di sini juga bukan berarti apa-apa kalik. Astrid... Astrid... mikirmu kejauhan."
"Kok jadi kamu yang gantian ngelamun?"
"Eeh, iya... sorry. Lha terus kamu mau cari kost berarti dalam waktu dekat?"
"Sepertinya sih begitu. Kamu mau nemenin kan, Trid?"
"Dengan senang hati." jawab Astrid tanpa ragu-ragu. "Iya, Nung, benar-benar dengan senang hati."
Tiba-tiba terjadi keheningan yang cukup panjang sebagai jeda. Baik Astrid maupun Hanung seperti kehilangan topik pembicaraan. Tidak, Hanung sebenarnya ingin sekali bertanya apakah Astrid sudah benar-benar bertunangan dengan seseorang. Ada keinginan yang besar dalam benaknya untuk bisa mengajak Astrid hadir di acara wisudanya bulan depan, memperkenalkannya lagi di depan Abah dan Umi, sambil mendeklarasikan pada orang tuanya bahwa ia tidak akan memacarinya lagi.
"Akan lebih indah sepertinya jika selama setahun ke depan Astrid bisa hidup bersamaku. Biaya hidupnya bisa ku tanggung. Ia pun tidak perlu merasa terlalu kesepian di kota perantauan." begitulah kira-kira bayangan Hanung yang sebenarnya. Cita-cita tinggalah cerita. Jarak yang mulai rapat ternyata masih harus ditangguhkan dengan keadaan.
"Astrid..." Keheningan seketika pecah ketika ada suara yang memanggil namanya. Astrid yang merasa dipanggil tiba-tiba terkejut dan mencari arah seseorang yang memanggilnya. Ia kenal betul suaranya, suara Ifa.
"Eh, nek. Ngapain di sini? Sama siapa?" kata Astrid menyapa sambil bebasa-basi. Padahal jelas ia tahu bahwa Ifa bersama Daniel, kekasihnya.
"Harusnya aku yang tanya kamu sama siapa. Ehem..." merasa salah tingkah sendiri, Astrid pun memperkenalkan Hanung kepada Ifa.
"Ifa..."
"Hanung..." sambil tersenyum mereka berjabat tangan.
"Oh, jadi ini yang namanya Hanung, orang yang udah bikin Astrid nangis siang malem dan nggak bisa move on berkepanjangan. Ngapain lagi dia nemuin Astrid? Pasti mau mohon-mohon maaf, nyesel, dan minta balikan. Wah, ini nggak bisa dibiarin... Aku nggak rela kalo Astrid harus dibohongin berkali-kali lagi." kata Ifa dalam hati dengan penuh tatapan waspada.
"Eh, aku duduk di sana aja ya. Takut ngeganggu. Hehehe."
"Apaan sih, nek. Gabung aja nggakpapa kalik."
"Hehe, udah santai, aku sama Daniel biar duduk di sana aja. Yuk, duluan ya..."
Ketika mereka sudah cukup berjarak tempat duduk, Ifa segera mengambil ponselnya dan menelepon Karin. "Halo, nek. Aku lagi makan sama Daniel, ngeliat Astrid sama Hanung lagi jalan bareng di sini... Ini pasti ada yang nggak beres..."
"Permisi mas, pesenannya..."
Raut muka serius Hanung seketika menjadi buyar akan distraksi dari mas-mas pemilik warung makan yang sedang mengantar pesanan itu. Astrid yang sudah menerima makanannya seketika langsung mengicipi hidangan yang ada di hadapannya perlahan. Hanung melihatnya sambil tersenyum.
"Kelaperan ya kamu?" kata Hanung sambil menggoda.
"Enggak sih, biasa aja. Buruan ih dilanjutin." kata Astrid mengingatkan Hanung untuk melanjutkan ceritanya. "Ah, sial. Ternyata Astrid memang tidak mudah untuk dialihkan perhatiannya."
"Oh, gini. Aku ke Solo karena ke depannya aku bakal lebih sering lagi ke Solo,"
"Kok gitu? Mau ngapain emang?"
"Aku udah dapet bocoran dari Abah, setelah wisuda S.Ked. nanti, aku mau ditempatin di sini untuk co-ass. Jadi, selama setengah tahun atau bahkan setahun ke depan aku tinggal di sini."
Astrid seperti tidak percaya. Dia akan tinggal satu kota lagi dengan Hanung selama setahun ke depan. Siapa yang menyangka, perpisahan mereka yang dulu disebabkan oleh jarak kini terjawab oleh semesta. Jarak mereka didekatkan. Ini semua di luar dugaan.
"Ah, walaupun dia di sini juga bukan berarti apa-apa kalik. Astrid... Astrid... mikirmu kejauhan."
"Kok jadi kamu yang gantian ngelamun?"
"Eeh, iya... sorry. Lha terus kamu mau cari kost berarti dalam waktu dekat?"
"Sepertinya sih begitu. Kamu mau nemenin kan, Trid?"
"Dengan senang hati." jawab Astrid tanpa ragu-ragu. "Iya, Nung, benar-benar dengan senang hati."
Tiba-tiba terjadi keheningan yang cukup panjang sebagai jeda. Baik Astrid maupun Hanung seperti kehilangan topik pembicaraan. Tidak, Hanung sebenarnya ingin sekali bertanya apakah Astrid sudah benar-benar bertunangan dengan seseorang. Ada keinginan yang besar dalam benaknya untuk bisa mengajak Astrid hadir di acara wisudanya bulan depan, memperkenalkannya lagi di depan Abah dan Umi, sambil mendeklarasikan pada orang tuanya bahwa ia tidak akan memacarinya lagi.
"Akan lebih indah sepertinya jika selama setahun ke depan Astrid bisa hidup bersamaku. Biaya hidupnya bisa ku tanggung. Ia pun tidak perlu merasa terlalu kesepian di kota perantauan." begitulah kira-kira bayangan Hanung yang sebenarnya. Cita-cita tinggalah cerita. Jarak yang mulai rapat ternyata masih harus ditangguhkan dengan keadaan.
"Astrid..." Keheningan seketika pecah ketika ada suara yang memanggil namanya. Astrid yang merasa dipanggil tiba-tiba terkejut dan mencari arah seseorang yang memanggilnya. Ia kenal betul suaranya, suara Ifa.
"Eh, nek. Ngapain di sini? Sama siapa?" kata Astrid menyapa sambil bebasa-basi. Padahal jelas ia tahu bahwa Ifa bersama Daniel, kekasihnya.
"Harusnya aku yang tanya kamu sama siapa. Ehem..." merasa salah tingkah sendiri, Astrid pun memperkenalkan Hanung kepada Ifa.
"Ifa..."
"Hanung..." sambil tersenyum mereka berjabat tangan.
"Oh, jadi ini yang namanya Hanung, orang yang udah bikin Astrid nangis siang malem dan nggak bisa move on berkepanjangan. Ngapain lagi dia nemuin Astrid? Pasti mau mohon-mohon maaf, nyesel, dan minta balikan. Wah, ini nggak bisa dibiarin... Aku nggak rela kalo Astrid harus dibohongin berkali-kali lagi." kata Ifa dalam hati dengan penuh tatapan waspada.
"Eh, aku duduk di sana aja ya. Takut ngeganggu. Hehehe."
"Apaan sih, nek. Gabung aja nggakpapa kalik."
"Hehe, udah santai, aku sama Daniel biar duduk di sana aja. Yuk, duluan ya..."
Ketika mereka sudah cukup berjarak tempat duduk, Ifa segera mengambil ponselnya dan menelepon Karin. "Halo, nek. Aku lagi makan sama Daniel, ngeliat Astrid sama Hanung lagi jalan bareng di sini... Ini pasti ada yang nggak beres..."
Komentar
Posting Komentar