"Halo, nek. Aku lagi makan sama Daniel, ngeliat Astrid sama Hanung lagi
jalan bareng di sini... Ini pasti ada yang nggak beres..."
Sementara di seberang sana, Karin seperti sayup-sayup mengangkat telepon dari Ifa dengan bermalas-malasan. Karin yang tengah terlelap tidur untuk balas dendam setelah lembur layaknya Bandung Bondowoso yang membuat seribu candi untuk Roro Jonggrang pun menanggapi cerita Ifa sekenanya.
"Hmm... Astrid? Jalan? Sama Hanung? Siapa tuh? Hoaamhh..." jawab Karin sambil menguap dan mengucek-ngucek matanya.
"Aduh... Bangun dulu dong, woy. Melek! Aku lagi cerita serius nih."
"Iya, ini udah bangun tapi belum melek. Tapi aku denger kok. Hanung itu siapa? Gebetan barunya Astrid? Hoaaammh~" kata Karin yang berusaha menanggapi cerita Ifa dengan serius. Karin yang setengah sadar memang seperti lupa siapa Hanung, orang yang sudah sering diceritakan Astrid, seseorang yang datang dari masa lalunya.
"Duduk dulu deh. Aku beneran mau ngomong serius. Melek, nek... melek. Fokus!"
Karin yang merasa kesal pun akhirnya tetap menuruti anjuran Ifa. "Ahh... Iya iya ini aku udah duduk. Udah buruan cerita, buru kelar, mau tidur lagi nih aku."
"Astrid lagi jalan sama Hanung, nek. Cowok yang sering diceritain sama Astrid, cowok yang udah bikin Astrid nggak bisa move on sampe sekarang."
"Ya, terus kenapa Ifa? Baguslah kalo Astrid udah mau keluar bareng cowok lagi. Biarinlah dia seneng sebentar. Biar dia nggak melulu baca buku, rapat, diskusi, atau nulis melulu. Kesian dia itu... cantik, pinter, tapi fakir asmara..."
"Ya emang bakal aku biarin kalo dia jalannya nggak bareng si Hanung."
"Emang kenapa sih kalo dia jalan bareng Hanung? Toh cuma makan bareng. Emang kalo udah jadi mantan nggak boleh jalan bareng?"
"Hanung itu cowok nggak bener, nek. Bolak-balik nyakitin Astrid. Sekarang dia bela-belain ke Solo ngapain coba? Aku curiga dia sekarang nyesel terus mohon-mohon buat balikan sama Astrid."
Karin pun hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar omelan Ifa di telepon. Karin merasa tidak ada yang salah jika Hanung kembali untuk menemui Astrid, pun untuk kembali berhubungan seperti dulu. Setiap orang yang pernah berbuat salah berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, menurut Karin. Tapi Ifa kali ini seperti tidak sependapat. Di benak Ifa hanya satu, sekali pengkhianat tetap pengkhianat.
"Ya itu urusannya Astrid lah. Dia yang mau ngejalanin hubungan, kita sebagai temen mah cuma bisa ngingetin aja buat ati-ati. Kamu mau ngelarang dia buat balikan kayak apa juga kalo emang mereka saling sayang, kamu bisa apa?"
"Enngg... Iya sih... Tapi kan..."
"Tapi apa? Anaknya kayak gimana? Cakep nggak? Ada tampang brengsek nggak?"
"Eng... Enggak sih... biasa aja, cenderung alim malah lumayan manis juga. Perawakannya ideal juga sih buat Astrid. Tapi kan tampang jaman sekarang bisa cuma buat pencitraan."
"Ah kamu mah, tapi kan-tapi kan mulu."
"Eh bentar-bentar. Anaknya ke sini." kata Ifa yang mendadak mengubah posisi duduk dan mencabut ponselnya dari telinga ketika Astrid dan Hanung menghampirinya.
"Ifa... Daniel... aku sama Hanung duluan ya." kata Astrid berpamitan dengan Ifa dan Daniel.
"Yuk, duluan ya." pamit Hanung.
"Oh iya, hati-hati ya kalian."
"Halo... halo... Fa, Ifa... are you there?" kata Karin di seberang telepon.
"Ok, I'm here. Sorry, tadi si suspect mendekat soalnya. Tadi ceritaku sampe mana?"
"Nggak tau. Lupa. Mereka naik apa?"
Sambil mencoba menengok ke arah parkir Ifa menjawab, "Naik mobilnya Hanung kayaknya."
"Tuh, calon dokter, penampilannya ideal, agamanya juga bagus, naiknya mobil. Logika cewek juga main kalik, Fa. Sekarang bandingin deh si Hanung sama Dion atau Igo. Terus kamu posisiin diri sebagai Astrid." jawab Karin mencoba santai.
"Eengg... tapi kan..."
"Ah, tapi kan-nya dilanjut besok lagi aja. Aku mau bobok. Udah ya. Bye."
Sementara di seberang sana, Karin seperti sayup-sayup mengangkat telepon dari Ifa dengan bermalas-malasan. Karin yang tengah terlelap tidur untuk balas dendam setelah lembur layaknya Bandung Bondowoso yang membuat seribu candi untuk Roro Jonggrang pun menanggapi cerita Ifa sekenanya.
"Hmm... Astrid? Jalan? Sama Hanung? Siapa tuh? Hoaamhh..." jawab Karin sambil menguap dan mengucek-ngucek matanya.
"Aduh... Bangun dulu dong, woy. Melek! Aku lagi cerita serius nih."
"Iya, ini udah bangun tapi belum melek. Tapi aku denger kok. Hanung itu siapa? Gebetan barunya Astrid? Hoaaammh~" kata Karin yang berusaha menanggapi cerita Ifa dengan serius. Karin yang setengah sadar memang seperti lupa siapa Hanung, orang yang sudah sering diceritakan Astrid, seseorang yang datang dari masa lalunya.
"Duduk dulu deh. Aku beneran mau ngomong serius. Melek, nek... melek. Fokus!"
Karin yang merasa kesal pun akhirnya tetap menuruti anjuran Ifa. "Ahh... Iya iya ini aku udah duduk. Udah buruan cerita, buru kelar, mau tidur lagi nih aku."
"Astrid lagi jalan sama Hanung, nek. Cowok yang sering diceritain sama Astrid, cowok yang udah bikin Astrid nggak bisa move on sampe sekarang."
"Ya, terus kenapa Ifa? Baguslah kalo Astrid udah mau keluar bareng cowok lagi. Biarinlah dia seneng sebentar. Biar dia nggak melulu baca buku, rapat, diskusi, atau nulis melulu. Kesian dia itu... cantik, pinter, tapi fakir asmara..."
"Ya emang bakal aku biarin kalo dia jalannya nggak bareng si Hanung."
"Emang kenapa sih kalo dia jalan bareng Hanung? Toh cuma makan bareng. Emang kalo udah jadi mantan nggak boleh jalan bareng?"
"Hanung itu cowok nggak bener, nek. Bolak-balik nyakitin Astrid. Sekarang dia bela-belain ke Solo ngapain coba? Aku curiga dia sekarang nyesel terus mohon-mohon buat balikan sama Astrid."
Karin pun hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar omelan Ifa di telepon. Karin merasa tidak ada yang salah jika Hanung kembali untuk menemui Astrid, pun untuk kembali berhubungan seperti dulu. Setiap orang yang pernah berbuat salah berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, menurut Karin. Tapi Ifa kali ini seperti tidak sependapat. Di benak Ifa hanya satu, sekali pengkhianat tetap pengkhianat.
"Ya itu urusannya Astrid lah. Dia yang mau ngejalanin hubungan, kita sebagai temen mah cuma bisa ngingetin aja buat ati-ati. Kamu mau ngelarang dia buat balikan kayak apa juga kalo emang mereka saling sayang, kamu bisa apa?"
"Enngg... Iya sih... Tapi kan..."
"Tapi apa? Anaknya kayak gimana? Cakep nggak? Ada tampang brengsek nggak?"
"Eng... Enggak sih... biasa aja, cenderung alim malah lumayan manis juga. Perawakannya ideal juga sih buat Astrid. Tapi kan tampang jaman sekarang bisa cuma buat pencitraan."
"Ah kamu mah, tapi kan-tapi kan mulu."
"Eh bentar-bentar. Anaknya ke sini." kata Ifa yang mendadak mengubah posisi duduk dan mencabut ponselnya dari telinga ketika Astrid dan Hanung menghampirinya.
"Ifa... Daniel... aku sama Hanung duluan ya." kata Astrid berpamitan dengan Ifa dan Daniel.
"Yuk, duluan ya." pamit Hanung.
"Oh iya, hati-hati ya kalian."
"Halo... halo... Fa, Ifa... are you there?" kata Karin di seberang telepon.
"Ok, I'm here. Sorry, tadi si suspect mendekat soalnya. Tadi ceritaku sampe mana?"
"Nggak tau. Lupa. Mereka naik apa?"
Sambil mencoba menengok ke arah parkir Ifa menjawab, "Naik mobilnya Hanung kayaknya."
"Tuh, calon dokter, penampilannya ideal, agamanya juga bagus, naiknya mobil. Logika cewek juga main kalik, Fa. Sekarang bandingin deh si Hanung sama Dion atau Igo. Terus kamu posisiin diri sebagai Astrid." jawab Karin mencoba santai.
"Eengg... tapi kan..."
"Ah, tapi kan-nya dilanjut besok lagi aja. Aku mau bobok. Udah ya. Bye."
Komentar
Posting Komentar