Sepulangnya Hanung ke kotanya, Astrid jadi tambah sering melamun. Ia merasa keheranan dengan sikap agresif yang mulai dimunculkan oleh Hanung akhir-akhir ini. Bukan karena ia tak suka, tapi karena ia lebih merasa curiga.
Tiba-tiba ponsel Astrid yang berdering pun memecahkan lamunannya. Ayahnya menelepon dan tanpa pikir panjang, ia pun segera mengangkat teleponnya.
"Hallo... Assalamualaykum..." kata Astrid menyapa.
"Waalaykumsalam. Lagi dimana dek?"
"Ini baru nyampe kost, Yah. Ada apa?"
"Kok jam segini baru nyampe kost? Rapat? Apa maen?" tanya Ayah dengan sedikit curiga.
"Maen kok, Yah." jawab Astrid jujur. Ia memang terbiasa untuk terbuka pada orang tuanya daripada harus berbohong dan membuat khawatir lalu menimbulkan curiga yang berkepanjangan. "Ayah, Hanung tadi ke sini..."
"Oh, maennya sama Hanung."
"Sebentar, Yah... Ceritanya belum selesai"
"Hehehe iya iya... Lanjutin. Ada apa kok tiba-tiba Hanung datang?"
"Iya makanya, Yah. Adek juga bingung. Mana bulan depan Hanung ngajak adek dateng ke wisudanya pula. Kan aneh, 2 tahun nggak ketemu tiba-tiba langsung minta adek dateng ke wisudanya. Di sana pasti ada orang tuanya juga kan."
Ayah pun mulai merasakan sesuatu dari gelagat Hanung yang diceritakan oleh Astrid. Bagaimana pun juga, ayah juga laki-laki yang pernah menaksir gadis. Ia mulai mencium aroma keseriusan yang ditangkap oleh naluri kelaki-lakiannya. Ia sadar, anak perempuan bungsunya kini sudah mulai memasuki usia dewasa.
"Sebelum dia ngajak kamu ke acara wisudanya, suruh dia temui ayah minggu depan."
"Eh, Yah. Ngapain? Jangan dimarahin. Kalo emang nggak dikasih izin juga adek nggak bakal berangkat kok. Jangan gitu ah, Yah." kata Astrid merajuk pada ayahnya. Kini Astrid sedikit menyesal telah terlalu jujur pada ayahnya.
"Ayah nggak mau marahin Hanung, nak. Sudah... bilang saja sama dia. Dia boleh ajak kamu ke acara wisudanya, tapi harus temui ayah dulu minggu depan. Jadi, minggu depan kamu juga pulang ya."
"Tapi, yah..."
"Udah nggak pake tapi-tapian."
Tiba-tiba ponsel Astrid yang berdering pun memecahkan lamunannya. Ayahnya menelepon dan tanpa pikir panjang, ia pun segera mengangkat teleponnya.
"Hallo... Assalamualaykum..." kata Astrid menyapa.
"Waalaykumsalam. Lagi dimana dek?"
"Ini baru nyampe kost, Yah. Ada apa?"
"Kok jam segini baru nyampe kost? Rapat? Apa maen?" tanya Ayah dengan sedikit curiga.
"Maen kok, Yah." jawab Astrid jujur. Ia memang terbiasa untuk terbuka pada orang tuanya daripada harus berbohong dan membuat khawatir lalu menimbulkan curiga yang berkepanjangan. "Ayah, Hanung tadi ke sini..."
"Oh, maennya sama Hanung."
"Sebentar, Yah... Ceritanya belum selesai"
"Hehehe iya iya... Lanjutin. Ada apa kok tiba-tiba Hanung datang?"
"Iya makanya, Yah. Adek juga bingung. Mana bulan depan Hanung ngajak adek dateng ke wisudanya pula. Kan aneh, 2 tahun nggak ketemu tiba-tiba langsung minta adek dateng ke wisudanya. Di sana pasti ada orang tuanya juga kan."
Ayah pun mulai merasakan sesuatu dari gelagat Hanung yang diceritakan oleh Astrid. Bagaimana pun juga, ayah juga laki-laki yang pernah menaksir gadis. Ia mulai mencium aroma keseriusan yang ditangkap oleh naluri kelaki-lakiannya. Ia sadar, anak perempuan bungsunya kini sudah mulai memasuki usia dewasa.
"Sebelum dia ngajak kamu ke acara wisudanya, suruh dia temui ayah minggu depan."
"Eh, Yah. Ngapain? Jangan dimarahin. Kalo emang nggak dikasih izin juga adek nggak bakal berangkat kok. Jangan gitu ah, Yah." kata Astrid merajuk pada ayahnya. Kini Astrid sedikit menyesal telah terlalu jujur pada ayahnya.
"Ayah nggak mau marahin Hanung, nak. Sudah... bilang saja sama dia. Dia boleh ajak kamu ke acara wisudanya, tapi harus temui ayah dulu minggu depan. Jadi, minggu depan kamu juga pulang ya."
"Tapi, yah..."
"Udah nggak pake tapi-tapian."
Komentar
Posting Komentar