Langsung ke konten utama

Pernikahan dan Perjalanan Pemikiran Tak Berkesudahan (2)

Oke, lanjut ya... Dari cerita yang kemarin.

Setelah dia menyanggupi, saya justru kelabakan sendiri. Dia menganggap bahwa saya nembak dia. Padahal kalau boleh jujur, saya suka sama dia saja belum. Ini bukan tentang gengsi atau harga diri, you name it. Tapi kacamata kuda saya saat itu melihat kalau orang ini belum bisa memenuhi kriteria yang saya pasang seperti orang yang saya ceritakan sebelumnya.

Mengapa demikian?
1. Awal perkenalan pada obrolan santai, ia mengaku pada saya bahwa ia belum berorientasi untuk menikah dalam waktu dekat.

2. Masih ingin lanjut S3 sambil kerja untuk menyenangkan orang tuanya.

3. Saat itu dia belum menyelesaikan studi masternya, belum berpenghasilan tetap, sementara saya justru sudah bekerja.

4. Pada beberapa pandangan dan tindakan dalam wacana agama, saya belum merasa cocok untuk dipimpin oleh lelaki seperti dia.

Saya realistis betul dan bisa mahfum atas pertimbangan tersebut. Oleh karena itu, kalimat saya yang terdengar nanting itu sebenarnya bukan untuk merengek biar dikasih kepastian. Sebaliknya, saya lakukan itu untuk membuat kami berdua saling jaga jarak. Saya hanya tidak ingin saling baper yang bikin keduanya jadi nggak produktif. Lebih cepat dinyatakan, lebih dini untuk segera diselesaikan.

Karena sudah terlanjur dia berani mengiyakan untuk serius berelasi dengan saya, akhirnya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab yang saya hadapi adalah laki-laki dewasa. Sejak perkenalan pertama, saya sudah mereasa kalau orang ini bukan lagi anak abege yang malam ini bilang A besok pagi bisa langsung bilang D. Secair-cairnya pikiran manusia, saya bisa melihat keteguhan dan keseriusan jawaban yang ia lontarkan pada saya saat itu.

Muthia dan Murrabi
Ada bagian cerita yang belum sempat saya kisahkan di atas. Sejak saya berhijrah, saya tidak sekedar ngaji di medsos. Alhamdulillah saya dipertemukan jalan untuk ikut pengajian. Sejak itu pula saya diberi kemudahan untuk  rajin halaqah dan memiliki Murabbi, bahkan Ulil Amri. Lingkaran pengajian saya sungguh nyaman, menentramkan, dan tidak haus akan hasrat kekuasaan politik praktis. Sehingga saat saya (dengan bismillah) meniatkan diri untuk menikah, maka ikhtiar pertama yang saya lakukan adalah mengirim CV kepada Murabbi dan Ulil Amri saya. Saya sudah memasrahkan diri kepada beliau-beliau sekiranya ada yang cocok dengan saya, insya Allah saya siap dikenalkan (ta'aruf) dan menjalani proses selanjutnya sesuai syari'at.

CV tersebut saya kirim sekitar akhir tahun 2015. Bodohnya, karena saat itu saya sudah jatuh hati pada laki-laki yang saya kagumi itu, akhirnya CV itu saya isi dengan berorientasi pada karakter laki-laki tersebut. Saya baru sadar akan hal ini tak selang berapa lama saat tulisan ini saya buat. Ya, meskipun itu bukan suatu kesalahan, tetapi lagi-lagi... pernikahan bagi saya saat itu masih di ambang khayalan, penuh fantasi, yang sulit menapak pada batas realitas.

Kan, aneh... katanya saya pasrah dicarikan sama Murobbi... Lha tapi kok udah punya kriteria detil yang merujuk seseorang. Ya, berarti kan saya nggak minta dicarikan, tapi mintanya dipersatukan (dengan orang yang sudah saya kagumi lebih dulu). Ya, wagu.

Nah, balik ke masnya yang meng-iya-kan tantangan saya ya...

Karena saya sudah memasukkan CV, maka saya sedikit khawatir... kalau-kalau Murobbi atau Ulil Amri saya tidak mengizinkan. Tapi, sekali lagi... karena saat itu saya belum berperasaan apa pun dengan lelaki ini, saya justru menganggap ini kesempatan baik untuk segera ambil jarak.

Untuk itulah saya segera berniat untuk berangkat silaturahim dengan beliau-beliau, untuk menceritakan kasus ini, sekaligus meminta pertimbangan, dan juga izin. Beberapa malam sebelum berangkat, saya awali dengan solat istikharah untuk meminta petunjuk. Akhirnya saya berangkat dengan bismillah, sambil bicara dalam hati, kalau beliau tidak memberi izin, maka itulah jawaban dari Allah sebagai petunjuk. Maka dengan itu pula saya harus segera menjauh dari lelaki ini.

Sesampainya di tempat kami bertemu, obrolan tidak langsung pada inti yang saya maksud. Saya sengajakan hal itu. Sebab saya senang mendengar beliau bercerita, dan menangkap hikmah dari kisah yang beliau ceritakan. Sehingga saya sendiri enggan memenggal beliau berkisah. Biasanya beliau ambilkan cerita-cerita tersebut dari Shiroh Nabawiyah, lengkap bersama ayat dan hadits yang melingkupinya. Dari situlah saya bisa memahami ayat demi ayat secara kontekstual historisnya, tak hanya melafalkan dan menggunakan ayat secara literal saja.

Baru ketika beliau paham kondisi, akhirnya beliau menanyakan hal-hal yang memang ingin saya utarakan.

"Ada pemuda yang sedang dekat dengan saya, Pak. Dia berniat serius dengan saya... Apa Bapak kiranya mengizinkan?"

"Lha nggih mboten nopo-nopo to, Mbak... Mangke ben tepang kula riyin, nggih..."
(Ya tidak apa-apa, Mbak... Nanti biar ketemu saya dulu, ya...)

Eh, kok... Boleh? Serius, dibolehin?

Saya pulang dengan garuk-garuk kepala. Sungguh, saya pikir akan pulang dengan jawaban yang sebaliknya. Saya tidak menyangka tempat saya mengaji bisa sedemokratis ini. Tapi tetap saja saya belum yakin. Sungguh, lho... Sebab saya memang banyak ragunya terhadap laki-laki ini. Dan kalau bisa saya sudahi saja sejak sekarang, supaya tidak ada perasaan yang berkelanjutan.

Pulang dari sana, saya tidak langsung pulang. Saya memutuskan untuk ketemu mbak senior saya yang juga mentor saya mengaji. Saya curahkan saja semuanya. Ia santai menjawab, "Kamu sebenarnya cari apa? Cari izin atau sekedar cari pembenaran untuk menghindar?"

Ah, baiklah. Cukup #jleb juga pertanyaan darinya yang dilontarkan kepada saya saat itu. Bisa jadi ia betul, sebab lelaki ini bisa dibilang 180 derajad dibandingkan apa yang saya ekspektasikan untuk bisa menjadi imam hidup saya. Sedih rasanya... kalau ternyata saya hanya mencari pembenaran untuk menolak seseorang.

"Lha perasaanmu sendiri gimana ke dia?" tanya si Mbak.

"Aku nggak tau, Mbak... Apa yang bisa kuharapkan dari dia... Mapan belum, secara keimanan sepanjang yang aku lihat ya masih biasa-biasa saja. Dia masih tak segan bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Dia tak segan mengajakku bertemu berdua saja. Dan dunianya... yang jauh dari syari'at dan lebih dekat dengan banyak mudharat... Sementara aku sudah susah payah untuk melepaskan diri dari semua itu. Masa iya aku harus bersuami dengan seseorang yang justru mengembalikan aku dengan dunia semacam itu. Apa yang bisa kuharapkan dari dia, mbak?"

Si Mbak tidak menjawab apa pun. Hanya mendengarkan. Sambil menatapku dalam-dalam. Aku melihat tatapannya, dan seketika aku beristighfar, sambil menangis...

"Maaf ya, Mbak... Aku... sok... suci," kata saya sambil menunduk lemas.

"Ya, dek... Alhamdulillah kamu cepat disadarkan. Ya kalau memang kamu merasa tidak sreg, ya sampaikan saja baik-baik. Tapi kalau kamu memang ada niatan baik untuk mengajak dia ke arah yang lebih baik, ya kenapa tidak?"

Saya terbengong-bengong sambil mengernyitkan dahi.

"Memang bisa mbak kalau perempuan yang ngajak laki-lakinya? Bukannya dimana-mana istri yang patuh sama suami?" tanya saya keheranan.

"Sejak kapan pikiranmu jadi bias gender begini? Memangnya tugas dakwah cuma untuk laki-laki saja?" katanya menanggapi dengan santai tapi tegas

Baik. Saya dibuat terdiam lagi. Sungguh saya bersyukur betul dianugerahi mentor seperti mbak ini. Seribu satu ada halaqah yang bisa memandang kekuatan perempuan bisa sama kuatnya dengan laki-laki. Ya Allah... tapi saya sadar betul. Apa yang dikatakan si mbak bukanlah perkara yang gampang untuk dieksekusi.

Tapi ya sudah. Saya anggap, izin dari beliau-beliau itu merupakan titik jawaban, bahwa saya harus memberi kesempatan lelaki ini. Meskipun saya sendiri kala itu masih ragu, apa saya sudah benar-benar mencintai laki-laki itu...


Masih berlanjut...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Info Harga Sewa Gedung Pernikahan (Venue for Wedding Package) di Semarang

Halo, semuanya... Lokasi Alam Indah Resto - dok. pribadi Jumat ini rasanya saya agak buntu ingin menulis apa. Akhirnya saya membuka sebuah forum pertanyaan di IG Story untuk mencari inspirasi, kira-kira tema apa yang menarik untuk saya ulas di blog pekan ini. Beberapa merekomendasikan untuk menulis hal-hal yang sifatnya personal. Ada juga yang menyarankan saya untuk menulis beberapa tema terkait masalah psikologi (mungkin karena dua buku yang saya tulis isu sentralnya psikologi populer ya hehe). Tapi, akhirnya hati saya kok malah condong menulis ini... Hehehe... Sekalian sharing  saja sih. Saya memang sedang mempersiapkan pernikahan. Pun, untuk urusan perkuliahan, saya kebetulan juga concern  untuk meneliti dunia industri pernikahan. Jadi, ya sekali tepuk bolehlah 3-4 urusan bisa diselesaikan. Mohon doanya ya semoga semuanya lancar dan segala sesuatunya dipermudah. Semoga juga nggak ada yang julid doain yang jelek-jelek.. hihi ups... *istighfar* Jadi di sini, saya akan

Konsep Suguhan Pernikahan dan Segala Resikonya

Beberapa hari yang lalu, saya merasa tersentil dengan komik singkat karya mas Dody YW yang diunggah melalui fanspage FB-nya " Goresan Dody ". Jujur, saya merasa tersentil sekaligus baper. Memang apa sih isi komiknya? Nih, berikut media komiknya saya lampirkan: Adab Makan sambil Duduk credits: FP Goresan Dody Sebagai individu yang sejak lahir di Semarang sampai lulus SMA, saya memang lebih familiar dengan konsep pernikahan yang menyuguhkan hidangan secara prasmanan. Para tamu disetting untuk antre makanan dan setelah dapat harus berdiri sambil berdesak-desakan untuk makan. Apakah tidak ada kursi? Biasanya ada, tapi jumlahnya hanya 1/10 dari jumlah undangan yang hadir. Berbeda dengan konsep pernikahan yang ada di Solo Raya (Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen), pernikahan dengan cara piring terbang masih mudah untuk ditemui. Meskipun beberapa ada yang sudah beralih dengan menggunakan konsep prasmanan, tetapi piring terbang masih jadi andalan. Pola menuny

Resensi Novel "Heart Emergency"

Judul Buku : Heart Emergency Penulis : Falla Adinda Penerbit : Bukune Sesuai sub judul dari novel ini yang bertuliskan "pahit manis cinta dokter muda" dan berbasis "Personal Literature", novel ini mengisahkan seorang Falla yang saat itu masih menjadi ko-ass di sebuah Rumah Sakit yang letaknya jauh dari tempat tinggalnya, memaksa ia untuk menjalani Long Distance Relationship dengan pacarnya saat itu yang bernama Reza tapi biasa dijuluki dengan sebutan Bul. Falla dan Reza telah menjalin hubungan selama 5 tahun. Namun seiring berjalannya waktu, kesibukan dan beban Falla sebagai ko-ass membuat Reza tidak bisa menerima keluh kesah dari kekasihnya tersebut hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan kisah cinta mereka yang telah berjalan selama 5 tahun. Sejak saat itu pula Falla menjadi malas dan tidak percaya bahwa Long Distance Relationship itu dapat bertahan lama. Namun keteguhan hati Falla akhirnya luluh saat bertemu Yama. Laki-laki yang